Terompet Ayah

Ayah adalah seorang manusia yang cerdas. Jarang sekali orang seperti ayah ini. Bekas pejuang yang tidak menyia nyiakan segala fasilitas yang ditawarkan kehidupan setelah negeri ini mencapai kemerdekaannya. Beliau adalah konglomerat. Termasuk tujuh besar di Asia Tenggara. Beratus perusahaannya di dalam maupun di luar negeri telah jadi benteng yang sangat kuat bagi kedudukannya. Bahkan saking banyaknya perusahaannya itu, ayah sendiri sering lupa apakah ia punya perusahaan tertentu di kota anu. Memang dalam hal ini ayah sering kebingungan. Sehingga saya merasa heran, bagaimana orang yang bingung seperti ayah bisa terus meningkat kehidupannya, bahkan mungkin kalau mau diperbandingkan beliau tidak akan masuk hitungan tingkatan tingkatan kehidupan yang ada di negeri ini. Beliau adalah seorang yang telah keluar dari grafik. Kalau terpaksa mau disertakan dituliskan, nama ayah mungkin ada berkilo kilo meter di luar halaman kertas.

Dan saya? Saya adalah anak keempat, tepat berada ditengah tengah dari tujuh anaknya. Jadi saya punya tiga kakak dan tiga adik. Nama saya Teguh. Entah aspirasi apa yang membuat ayah memberi nama Teguh kepada saya. Saya sendiri bingung, apalagi setelah memikirkan banyak kejadian dalam hidup saya akhir akhir ini. Nama ini telah membentuk karakter, satu bakat atau satu semangat. Tapi sebetulnya kalau ingin sempurna, nama Teguh belum sepenuhnya mewadahi keseluruhan saya, terutama dalam hubungannya dengan ayah. Nama saya seharusnya Pemberontak, Pembangkang atau nama lain semacam itu.

Kenapa saya Pemberontak? Begini ceritanya. Saya memilih citra tersendiri bagi diri saya. Saya tidak pernah mau disetir siapapun, termasuk oleh ayah yang konglomerat besar itu. Anakmu bukan milikmu, itulah alasan yang sering saya lontarkan apabila ayah sudah kelihatan memaksa. Saya memilih baju dengan gaya dan warna tersendiri. Masuk fakultas yang saya pilih sendiri. Meminati hobi yang lain dari yang ayah tawarkan. Pokoknya segalanya lain dari selera kompak ayah, ibu, kakak dan adik saya. Bagi saya gaya dan selera hidup mereka rendah. Materialis. Serakah. Hedonis. Glamour. Hidup yang bermoduskan being is having, menurut buku Erich Fromm yang saya baca. Dan yang terutama membuat saya nekad menyendiri, memilih kubu yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan mereka adalah karena ─ini mungkin akibat saya terlalu terpengaruh kegenitan koran koran dan tulisan lainnya yang saya baca serta omongan beberapa teman di kampus─ konsekuensi konsekuensi menindas dan menyengsarakan dari kegemaran dan rencana rencana besar ayah untuk lebih memakmurkan kami. Ayah, ibu, kakak dan adik adik saya picik. Daya jangkau penglihatan dan pendengarannya sebatas kemakmuran dan kenikmatan keluarga. Menumpuk dan pamer benda benda. Tidak ada urusan dengan kehidupan, kecuali berpusat pada kepuasan dirinya. Kalau saya, berpikir dengan hati dan otak seorang warga dunia, dimana hidup adalah berkorban demi kebahagiaan bersama. Orang orang miskin dan terlantar mendapat tempat yang sungguh layak dalam pikiran saya. Berlebihan? Tidak. Bagi saya, itulah adanya saya.

Ketika masuk fakultas filsafat tiga tahun lalu, ayah menegur saya. “Kamu ini aneh! Masuk ke tempat yang orang orang meninggalkannya.”

Seperti biasa apabila enggan berlama lama berdebat, dengan cuek tingkat tinggi saya menjawab. “Anakmu bukan milikmu!” Beliau seperti biasanya pula tidak pernah marah mendengar jawaban jawaban saya. Mungkin menurut perasaannya, itulah satu satunya kebahagiaan besar yang bisa diberikan kepada saya. Silent is gold for Teguh. Padahal kalau diingat ingat, setiap percakapan, ajakan, teguran dan sapaan dari ayah, dengan semangat yang tak pernah padam pasti saya bantah. Sampai sampai seorang teman merasa khawatir melihat hal ini.

“Ada apa dengan kamu? Lidahmu fasih sekali bila berkata TIDAK!” Untung saja teman saya itu tidak menebak saya lebih jauh. Kalau iya, pasti ketahuan bahwa saya pemberontak.

Lama kelamaan tumbuh perasaan aneh dalam diri saya. Saya merasa membantah ayah adalah kewajiban bagi saya. Seperti wahyu yang diberikan Tuhan kepada para nabi, mungkin membantah ayah semacam amanat yang diberikan Tuhan kepada saya. Bedanya, saya yakin sekali wahyu membawa kebaikan kepada umat manusia. Memperbandingkannya dengan hal itu, saya dihinggapi perasaan khawatir. “Kebaikan apa yang ada dalam amanat perbantahan saya ini?” Apalagi bila kepercayaan akan amanat ini bergelut dengan perasaan lain, yaitu durhaka kepada ayah. Tetapi mengingat ayah tidak pernah marah menanggapi perbantahan saya, perasaan mendurhakai itu bisa saya tepiskan.

Sekarang. Ini cerita menjelang tahun baru yang baru lalu. Ibu, kakak dan adik adik sibuk berkeliling mencari terompet yang paling baik. Kalau saya, tidak pernah punya minat sedikitpun untuk meniup terompet, meski di malam tahun baru. Buku buku di perpustakaan pribadi saya telah cukup menjadi terompet sepanjang tahun bagi saya.

Sebelum pergi, ibu yang selalu jengkel dengan ketidakkompakkan saya, mengejek. “Kamu tidak mau terompet kan? Nanti ibu belikan sempritan saja ya? Kamu kan maunya jadi wasit melulu.”

Saya tidak begitu pasti ejekan ibu mengarah ke apa atau ke mana. “Buat apa terompet. Bikin pegel mulut saja!” saya menjawab ibu dengan ketus.

“Buat apa jadi wasit! Tidak pernah menikmati kemenangan.” ibu menimpali dengan senyum yang asing bagi penglihatan saya.

Dan ayah? Dari bangun jam delapan pagi sibuk membuat terompet sendiri. “Masak pejuang yang mampu mengusir penjajah seperti ayah, membuat satu terompet saja tidak becus.” jawab ayah sambil membusungkan dada ketika ibu dan adik adik mengomentari kesibukannya.

+++

Setelah selesai membuat terompet, ayah mendatangi saya yang suntuk membaca buku. Sambil menunjukkan terompetnya yang besar, ayah mengajak. “Teguh. Karena di rumah tidak ada siapa siapa, maka kaulah satu satunya manusia selain ayah yang bakal menyaksikan tiupan pertama terompet ayah. Tiupan dahsyat yang mungkin bisa membuat manusia berpikir berulang ulang tentang segala yang berhubungan dengan kehidupannya. Yok, ikut ayah ke taman depan! Sekalian kamu menguji ketahananmu sebagai anak ayah yang lain daripada yang lain.”

Bulu kuduk saya berdiri mendengar omongan ayah. Ngeri. Apa hubungan terompet ayah dengan kehidupan? Tetapi muncul dugaan lain dengan tiba tiba di benak saya. Ayah pasti berusaha melucu untuk menghilangkan rasa penat akibat jongkok berdiri hilir mudik kesana kemari menyelesaikan terompetnya tadi.

“Buat apa dengerin terompet? Bikin budek saja!” jawab saya dan meneruskan membaca.

“Teguh. Hargailah perjuangan Ayah. Jangan membantah saja!” Mendengar kata kata itu saya menjadi iba. Juga timbul rasa penasaran di benak saya. “Apa hubungan terompet ayah dengan kehidupan?” Saya pun mengikuti ayah berjalan menuju taman.

Di tengah rumput yang hijau menghampar kami berhenti. Ayah bersiap siap menirukan gaya pemain saxophone di band band jazz. Berdiri dengan badan yang ditegakkan dan memandang lekat lekat pada terompetnya. Dengan begitu ayah kelihatan semakin kokoh saja walaupun ditumpuk usia. Ayah laksana Tembok Cina, batin saya. Saya berdiri tiga meteran di samping kanan ayah. Ayah pun mengambil nafas panjang. Seluruh tumbuhan yang ada di hadapan ayah menjadi doyong ke arahnya. Saya terkesima melihatnya. Ternyata ayah punya paru paru yang dahsyat. Paru paru yang bisa menampung seluruh dunia kalau ayah ingin. Kemudian ditiupnyalah terompet besarnya sekuat kuatnya. Tak ada suara. Tak ada bunyi preeet sedikitpun. Yang keluar malah gumpalan gumpalan kental merah seperti darah. Saya membayangkannya seperti episod dilahirkannya anak anak Kurawa dalam kisah pewayangan Mahabharata.

Mendung menyelubungi langit yang barusan cerah. Ada kilatan cahaya menggurat berulang ulang. Guruh mengguntur keras. Gumpalan gumpalan kental itu pecah menciprat ke seluruh bagian taman. Berubah menjadi cairan cairan merah membiru. Lalu cairan cairan itu bergolak. Bumi di sekitar rumah bergetar. Cairan itu tambah bergolak. Lama lama membesar lalu menjelma anjing anjing ajag. Anjing anjing itu serentak mengeluarkan lolongan panjang. Saya menjerit. Ayah malah tertawa terbahak bahak. Kemudian meniup terompetnya sekali lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Muncrat cairan merah lagi. Bergolak menjelma anjing anjing ajag. Kini tampak kenyataan yang semakin menyeramkan. Anjing anjing itu dengan rakus memakan segala yang ada. Tanah. Rumput. Pepohonan. Pagar. Tembok. Tong sampah. Bunga bunga. Pasir. Batu batu. Kran air…

“Ayah. Hentikan membuat anjing anjing itu!”

“Ayah tidak membikin anjing. Ayah hanya meniup terompet. Lihatlah! Ayah hanya meniup terompet kan?”

“Tapi terompet Ayah mengeluarkan anjing anjing!”

“Ah, siapa peduli! Ayah tidak membikin anjing. Dan pula tidak punya maksud membikin anjing. Ayah hanya meniup terompet.”
Saya kehabisan kata kata. Saya lari ke kamar dan mengambil bedil. Kembali ke taman untuk menembak anjing anjing yang keluar dari terompet ayah. Begitu melihat saya memegang bedil, anjing anjing itu berloncatan ke luar pagar. Menyebar ke segala penjuru. Saya blingsatan. Saya mencoba membidik. Dor! Satu anjing kena. Tubuhnya muncrat menjadi darah dan menyebar kemana mana. Darah itu bergolak seperti cairan yang berasal dari terompet ayah tadi. Menjadi anjing anjing baru. Saya jadi merasa serba salah. Menembak anjing anjing itu malah melipatgandakan jumlahnya. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Karena kehabisan akal saya memohon kepada ayah.

“Ayah. Tolonglah hentikan meniup terompet!”

“Apa? Tolonglah? Tumben kamu mengeluarkan kata itu.” ayah malah mengejek.

“Kalau tidak, coba Ayah kendalikan anjing anjing itu! Cuma Ayah mungkin yang mereka turuti perintahnya.”

“Tidak bisa! Anjingku bukan milikku!” ayah tambah kenikmatan mengejekku.

Saya kehilangan kesabaran. Saya todongkan bedil ke arah jantung ayah. Melihat kelakuan saya, ayah makin keras tertawa. Pikiran saya berputar putar. Tidak juga menemukan kepastian yang bisa saya jadikan keputusan. Mungkin hanya dengan menembak ayahlah memusnahkan anjing anjing yang menakutkan itu. Tetapi apa tidak berdosa seorang anak menembak ayah kandungnya sendiri? Antara patriotisme dan pembangkangan, antara heroisme dan kedurhakaan memang hanya dipisahkan selapis tipis perbedaan.

“Tembaklah Ayah Anakku tercinta. Ayo!” ayah menantang todongan saya sambil membusungkan dada. Meraih moncong bedil yang saya pegang dan menariknya, sehingga saya dipaksa beringsut ke depannya. Moncong bedil itu sekarang menempel di tengah tengah dada ayah.

“Ayo, tembaklah! Tembakkan bedil itu!”

“Saya tidak tega, Ayah!” Bersamaan dengan keluarnya kata kata itu dari mulut saya, seluruh kekuatan yang tadi menguasai saya luruh dan menguap entah kemana. Tubuh saya pun berkeringat deras. Saya dibanjiri kebingungan dan kecemasan. Ayah adalah kekuatan yang ternyata tidak mudah dikalahkan.

Di depan mata saya terbayang satu kenyataan pahit, saya bersimpuh di depan ayah dan meratap sejadi jadinya menyesali semua keyakinan yang dulu saya pegang. Sia sia semuanya. Segala daya upaya saya adalah hal hal yang ternyata percuma. Perbantahan saya terhadap gaya dan selera ayah adalah kebodohan yang sesungguhnya. Saya putar berurutan keinginan saya bagaikan mengangsur biji biji tasbih yang dikeluarkan dari talinya. Satu persatu keinginan itu lepas menggelinding dalam tatapan saya. Keraguan menteror. Siapakah saya yang berdiri mematung bagai seorang pandir ini? Seorang filsuf? Intelektual? Seniman? Sufi? Biarawan? Manusia dengan jiwa luhur? Agung? Ataukah masih seorang pemberontak? Persetan semuanya. Ayah adalah bagian diri saya yang sulit dimusnahkan begitu saja.

+++

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.