Sebuah Pagi Untuk Tini

Sambil menggenggam sapu, yuli bolak-balik putar-puter di taman tengah rumah. Kelihatannya ia sedang memikirkan sesuatu, padahal jarang-jarang anak itu berpikir suntuk seperti itu. Deni tertarik melihat gelagat Yuli yang tidak biasanya. Lalu Deni membuka kaca nako kamarnya dan menegur Yuli dari dalam. “Hei, Nenek sihir! Mau terbang, ya?”

Yuli mendelik, kemudian menatap Deni dengan mata melotot. Akibatnya Deni bergidik, bulu romanya berdiri. ‘Hii, nggak nyangka! Si Yuli udah jadi nenek sihir beneran.” Pikirnya. Tapi Deni nggak kapok. Kembali di tegurnya si Yuli. “Serius, Nek?”

Yuli pun kembali mendelik, tapi dengan cepat tersenyum. “Deni, bisa bantu aku nggak?” pintanya.

“Tergantung!” jawab Deni.

“Tergantung?” ulang Yuli belum ngerti.

“Yaa,tergantung ada upahnya apa nggak!” Deni memperjelas.

“Huu, dasar kuli! Apa-apa upah!”

“Huu, dasar pelit! Gitu aja sewot!” balas Deni sambil cekikikan.

Kemudian dari pintu dapur kelur Pak Suhud berkaos oblong dan sarung. “Deni! Sudah bangun beluum?” teriaknya kaya tarzan.

“Beluum!” Deni menjawab dengan berteriak pula.

“Kok, nyahut?” lanjut Pak Suhud. Deni hanya cekikikan. “Cepet nimba!” Pak Suhud membentak.

Dengan sigap Deni menutup mulutnya, dan dengan suara pelan mengumpat sendirian, “Dasar orang tua! Habis ngelucu ngebentak!”

Deni keluar dari kamarnya. Di luar Yuli menyambutnya dengan ejekan. “Heh, Mas! Kuli nimba, ya? Berapa duit satu gentong?”

Selesai nimba Deni berjalan menuju bangku taman. Dilihatnya Yuli sedang duduk merenung di situ. Rambut Yuli yang bertabur bunga belimbing menarik perhatiannya. “Ni anak, mikir sampai berbunga-bunga gitu!” pikirnya.

“Naa, he-he!” lanjut Yuli. “ Terus gara-gara itu aku rebut sama Opit.”

“Kenapa emangnya?”

“Opit nggak setuju kalau aku akrab sama Tini. Soalnya, katanya, dia takut kalau aku ikut rusak. Padahal aku kasihan banget sama Tini. Ceritanya sih siapa tahu aku jadi good influence buat dia.” Yuli menerangkan dengan berapi-api.

“Rencananya kamu mau jadi juru selamat, nih?” ejek Deni.

“Yaa, Insya Allah!” Yuli tak menghiraukan ejekan Deni. Dalam dadanya terpagut tekad dan keyakinan, bahwa Tini pasti bisa kembali menjadi cewek yang baik, cewek yang punya harga diri. Ia melihat sedikit-sedikit perubahan itu dalam diri Tini setelah ia bergaul akrab dengannya. Dan pada saatnya nanti Tini akan betul-betul menjadi cewek yang tidak murahan lagi.

“Terus, yang tadi kamu pikirin apa?” pertanyaan Deni membuat kaget Yuli yang barusan melamun.

“O-iya! Masalahnya sendiri malah dilupain. Begini, Den! Aku nggak mau rebut sama Opit, apalagi kalau putus. Tapi untuk menjauh dari Tini menurutku sekarang ini bukanlah saat yang tepat. Nah, sekarang menurutmu aku harus bagaimana?” Yuli berbalik Tanya kepda Deni. Tetapi kelihatannya Deni belum siap menjawab dengan memuaskan. Jadinya Deni kebingungan.

“Whuu, Filsuf bingung!” karena tak sabar Yuli mengejek.

“Entar aja deh, ya? Aku mau mandi! Jam delapan berangkat kuliah sih!” Deni berjingkrak-jingkrakan mendapatkan alasan. Yuli cemberut tanda tak puas. “Alasan!” umpatnya kemudian.

Bubar kuliah Deni langsung pulang. Terik mentari siang itu di tembusnya dengan bersepeda motor yang berlaju cepat. Bisa dibayangkan bagaimana panasnya Jogja siang itu. Tapi bagi Deni, udara jogja yang panasnya bukan main itu tidaklah menjadi soal, lantaran tu anak masih basah kuyup disiram air sama pak dosen gara-gara ngantuk di kuliah tadi. Sebetulnya bukan airnya itu yang bikin sejuk, tetapi perasaan lega dan bangga mendapat pengalaman yang jarang dialami orang. Bayangin! Siapa orang yang pernah di mandiin dosennya? Profesor lagi! Begitu mungkin pikiran gila Deni.

Di rumah anak-anak menyambut kedatangan Deni dengan antusias. Ayu kelihatan sekali girangnya, keadaan Deni yang basah kuyup itu merupakan obyek besar bagi keusilan mulutnya.

“Gembel dari mana, nih?” mulut Ayu nggak bisa ditahan.

Si Reni menimpali. “ Buu, ada gambel masuk rumah!”

Saking keselnya Deni mengeluarkan teka-tekinya (Kirain tanduknya?). “Heh, nyonya-nyonya bawel! Mau nebak teka-teki nggak?”

Ayu, Yuli dan Reni serempak menjawab. “Apa hayo?”

“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Kalau gembel mati, meninggalkan apa, hayo?” bagian Deni sekarang yang kegirangan, soalnya yakin teka-tekinya nggak bakalan ketebak.

“Meninggalkan kampus!” jawab Yuli, nyambung ejekannya tadi. Anak-anak tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawabannya.

“Salah!” kata Deni.”Nyerah aja, ya?”

Anak-anak dengan khidmat menanti jawaban Deni. “Gembel mati meninggalkan…” sambil berlari menuju kamar mandi, Deni berteriak, “Gembel lainnya!”

“Huu, nggak ilmiah!”

Tiba-tiba Nita datang. Di tangan kanannya tergenggam sepucuk surat putih. Lalu di depan anak-anak dikipas-kipasnya surat tersebut. Anak-anak berebut mengambilnya. Maklum, bagi anak perempuan sebuah surat bagaikan segepok emas.

“Surat buat siapa tu, Bu Pos?” tanya Yuli yang uadah menyerah kecapekan.
Kemudian dengan gaya seorang guru Bahasa Indonesia, Nita membacakan huruf-huruf yang tertulis di cover surat itu. “Buat sahabatku. Yuli. Di tempat kos.”

Ayu dan Reni jadi pada diem.

“Dari siapa, tuh?” tanya Yuli acuh-acuh butuh.

“Dari si Dea. Katanya ini surat titipan dari si Tin-ni.” Setelah menjawab dengan centilnya, Nita menyerahkan surat itu kepada Yuli. Kemudian ia meninggalkan anak-anak menuju kamarnya. Lalu muncul Bu Suhud dengan baki penuh gelas-gelas sirup. Melihat Yuli memegang surat, Bu Suhud menyelidiki. “Surat dari kantin, ya? Nagih utang?”

Yuli jadi kena tunjuk rame-rame.

“Dasar ibu rumah tangga, pengetahuannya cuma utang aja!” batin Yuli mengumpat. Sebentar kemudian ia pun pergi menuju kamarnya. Sampai di kamarnya Yuli langsung nyetel tape. Suara serak Rod Stewart terdengar melantunkan lagu ‘That’s What Friends Are For’. Cocok sekali lagu tersebut dengan suasana hatinya yang lagi tenang-tenang gelisah. “Ada apa nih, Tini. Ngirim surat segala?” batinnya bertanya bimbang. Surat kiriman Tini itu ditatapnya berulang-ulang. Setelah puas di guntingnya ujung surat tersebut. Dalam hati ia bacakan surat yang isinya ternyata hanya sebuah permintaan untuk bertemu dari Tini kepada dirinya.

“Ngapain permintaan sependek ini disampaikan lewat surat segala. Ngabis-ngabisin kertas!” geli hati Yuli berpikir tentang itu. Tetapi tiba-tiba di benaknya muncul pikiran. “Apa Tini sakit, ya? Soalnya tidak seperti biasanya tu anak memintaku datang menemuinya.” Yuli memang sudah lima hari ini tidak bertemu denga Tini, karena ia pergi ke luar kota ikut temu ilmiah. Jadi ia tidak tahu keadaan Tini akhir pekan ini. Selanjutnya Yuli menjadi termenung. Secara bergantian bayanga Opit dan Tini hadir di lamunannya. Opit sebagai kekasih yang sungguh-sungguh di cintainya, dan Tini teman yang di kasihinya. “Untuk saat ini aku tidak ingin salah satu di antara mereka menjadi jauh dariku. Masing-masing dari mereka punya arti tersendiri bagiku.” Renung Yuli.

Tiba-tiba dimatanya membayang kejadian di malam Minggu kemarin ketika Opit menceramahinya macam-macam, yang pada intinya ia harus menjauhkan diri dari Tini. Kata-kata terakhir Opit di malam Minggu terngiang-ngiang kembali.

“Kau juga harus memikirkan aku dong, Yul! Bagaimana kalau orang-orang berpendapat buruk tentangmu, kemudian aku terpengaruh. Cobalah kau pikirkan hubungan kita ini. Aku tidak ingin hal-hal yang tak diinginkan menimpa kita.” Kata-kata Opit menggugah macam-macam perasaan di hati Yuli. “Pokoknya sekarang kamu jangan sok jadi malaikat. Apa menurutmu mentalmu sudah cukup kuat untuk menahan pengaruh buruk si Tini?”
lanjut Opit membuat telinga Yuli terasa diiris-iris. Yuli tidak tahu kata-kata Opit benar atau tidak, yang ia tahu bahwa dirinya terasa bagaikan dilempar ke sebuah gua pengap yang asing, dimana untuk meraba pun ada rasa khawatir yang tidak menentu. Ia jatuh dalam kebimbangan yang menyiksa.

Secara pelahan Yuli menghapus sedikit demi sedikit lamunannya. Angin sejuk yang menembus jendela menyelimuti keresahannya, seolah-olah ingin menghibur dirinya dengan menghadirkan rasa kantuk. Setelah Yuli mencoba meramal apa yang akan terjadi Sabtu malam nanti bersama Opit, ia pun telah sempurna terhibur angin sejuk yang semakin mengurungnya. Yuli tertidur pulas. Di wajah dan lehernya membintik bulatan-bulatan keringat seperti menandakan bahwa dalam tidurnya itu ia tidak lepas-lepas berpikir keras.

***

Malam itu adalah malam Minggu yang tidak seperti biasanya. Ruang tamu depan di mana Yuli duduk bersama Opit telah berubah jadi ruang pengadilan bagi Yuli. Opit kembali menceramahinya tentang persahabatannya dengan Tini. Karena dibebani pikiran yang bermacam-macam, Yuli berubah menjadi makhluk manis yang pendiam atau mungkin tepatnya mendiamkan diri. Secara fisik Yuli hadir di hadapan Opit, tetapi pikirannya tidak. Jam setengah sepuluh Opit pamit pulang.

“Yul, aku pamit dulu, ya?”

Yuli diam saja seperti tidak mendengar kata-kata Opit. Opit mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan mata Yuli. Dengan kaget Yuli tersadar dari lamunannya, kemudian tersipu-sipu malu.

“Nyesel ya, Bang Opit pamit?” Opit bergurau mengejek, lalu berdiri untuk meninggalkan ruang tamu itu. “Awas! Ingat ya, janjinya!” tegurnya sembari menunjuk kea rah Yuli.

“Jaji apa?” Yuli bertanya bingung.

“Janji kamu tadi! Bahwa kamu bersedia menjauhi Tini sepenuhnya.” Opit mengingatkan. Yuli menjadi bertambah bingung. “Apa betul aku berjanji seperti itu tadi?” suara batinnya bimbang pula.

***

Minggu pagi itu langit cerah menghapus awan putih maupun kelabu. Di bawah langit itulah Yuli berjalan. Di dahan pohon-pohon yang di laluinya burung-burung mengiringi langkahnya dengan bernyanyi riang. Di jalan besar ia berdiri menanti bis kota lewat. Tujuan Yuli adalah tempat kos Tini.
Jam tujuh lebih sedikit Yuli sampai di tempat kos Tini. Tini sudah menunggunya di teras depan. “Ayo masuk, Yul! Sudah dari tadi aku menunggumu.” Sapa Tini sambil membukakan pintu pagar untuk Yuli. ”Aku deg-degan kalau-kalau kamu tidak datang. Soalnya sebentar lagi travel menjemputku.” Lanjut Tini dengan kegirangan yang terasa aneh.

“Emangnya kamu mau mudik?” tanya Yuli.

Mereka duduk di kursi teras depan menghadap jalan. Yuli melihat dua koper besar berdiri di samping pintu.

“Yul, aku ngambil cuti semester nih!”

Kata-kata Tini ini membuat kaget hati Yuli. “Cuti semester? Mau ngapain?” keheranan Yuli terdengar dalam nada suaranya yang tersentak parau. Kemudian dilihatnya wajah Tini yang berubah dari romannya yang tadi. Di wajah itu tergambar berbagai perasaan yang bercampur baur.

“Aku mau mencoba mesantren dulu, Yul. Kau kan pernah menganjurkan, agar kita mempunyai kepribadian yang baik dan kuat, kita harus mempunyai pemahaman agama yang cukup.” Tutur Tini dengan menahan rasa haru di dadanya. Kemudian ia melanjutkan, “Sejak kau katakan itu, aku jadi rindu untuk merubah diriku yang tak karuan ini. Sebetulnya telah lama aku merasa bosan dan tersiksa oleh kepribadianku yang murahan. Semoga saja Tuhan menolong orang yang menolong dirinya sendiri, bukan?”

Tini tak bisa membendung air matanya. Demikian juga Yuli. Keduanya menunduk oleh perasaan kacaunya masing-masing.

“Tetapi, mengapa harus sekarang?” pertanyaan Yuli terasa aneh dan sumbang. Yuli merasakan kemunafikan dalam dirinya, di satu sisi ia tidak rela berpisah dengan Tini, tetapi di sisi lain ia malah bersyukur, apalagi ketika ia teringat kata-kata Opit semalam. Yuli mengutuk dirinya sendiri. “Manusia egois!”

Tini menyeka air mata dengan punggung tangannya, kemudian menguatkan diri untuk tersenyum. Ia tatap langit cerah yang bagaikan jutaan lambaian tangan selamat datang bagi kesadaran tulusnya. Ia hirup udara segar pagi itu bagaikan bayi yang baru saja dilahirkan dengan kebahagian yang luar biasa besarnya, seolah-olah pagi itu miliknya seluruhnya.

Dan ia berkata lirih. “Seharusnya kita tidak menangisi kebahagiaan ini!”

(p)(u)(f)

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.