Sebuah Luka Bagi Sang Demonstran

Inilah representasi rakyat kecil yang aku bela, secuil kehidupan di sederet gerbong kereta api kelas ekonomi. Pertama kali kuinjakkan kaki di lantai kereta ini, aku telah mencium bau rakyat. Hawa yang panas dan suasana kumuh mempertegasnya. Aliran deras pedagang asongan dan teriakan teriakannya yang cerewet, lucu bahkan cabul, memberikan kepusingan tersendiri.

“Koran, koran, koran, koran… Koran Oom?”

“Cel, pecel. Pecelnya bu? Pak… Pecel, pecel…”

“Kacang ibu rambutan, kacang ibu rambutan, telor bapak rambutan…”

“Akua, akua… Teh kotak, kolonyet, pe pe o…”

Kuperhatikan, sepanjang aku berjalan mencari tempat duduk, kaca kaca yang menjadi dinding kereta ini tak satupun yang bersih. Semuanya kotor dan berdebu. Juga jok jok bangku dan meja kecil dengan warna karatnya. Cermin kesehatan rakyat.

“Bang, bang, korannya bang!” untuk tidak jatuh terbengong bengong saja aku mencoba membeli koran.

“Ini, Mas. Seratus rupiah saja!”

“Seratus rupiah?!” tanyaku.

“Ini koran lama, Mas. Buat tikar duduk.” jawab si tukang koran acuh tak acuh.

“Yang baru?”

“Wah, saya nggak jual.” sembari jawab si tukang koran ngeloyor pergi, seolah olah tahu betul bahwa aku tak lagi berminat pada koran korannya.

Kampung demi kampung berlari bagai gambar pemandangan yang panjang sedang digulungkan dari arah timur yang entah di mana persisnya. Sawah sawah yang kekeringan air, bukit bukit kecil yang tandus, genangan lumpur di lobang lobang tanah yang bergerenjul batu batu serta suara suara binatang di sepinya makam makam menawarkan selera abadi bagi perjalanan ini.

Di dalam kereta aku telah bermandi keringat. Orang orang lain juga. Ada percakapan dalam bahasa Jawa, Sunda dan lebih sedikit lagi dalam bahasa Indonesia. Dengan fokus yang bermacam macam pula, dari lingkup yang remeh sekali semacam pembicaraan kerumahtanggaan sampai ke hal hal yang menjurus politik(?).

“Toh rakyat tidak sebodoh yang diperkirakan banyak ‘orang pintar’,” benakku berkata. “Mereka punya bergudang gudang permasalahan yang mereka coba jawab sendiri. Apa itu bukan suatu kecerdasan?”

Dari pikiran itu berkembang nostalgia nostalgia petualanganku sebagai salah seorang yang sering disebut oleh banyak pihak sebagai demonstran. Berawal dari persiapan persiapan patriotik yang kulalui bersama kawan kawan sesama mahasiswa, mengetik naskah naskah yang kontroversial, mengecat spanduk serta mencorat coret kertas karton dengan kata kata advokatif bahkan terkadang radikal, sampai meneriakkan yel yel pembelaan dan gelar demonstrasinya itu sendiri.

Lalu kubandingkan jerih payah itu dengan keadaan rakyat yang sebenarnya, yang terpampang kini di depan mata kepalaku sendiri. Ada rasa tak percuma. “Ya, perjuangan perjuanganku mempunyai akar yang kuat, yakni kesengsaraan rakyat dan ketertindasannya dalam perikehidupan yang lebih besar. Lebih penting lagi, adalah ketulusan dan kejujurannya.” Lihatlah, mereka mempunyai wajah yang pasrah, penuh sabar dan jauh sekali dari bayangan bayangan pamrih. Tetapi struktur yang diciptakan bagi keseharian mereka, penuh lorong yang bengis dan jahat. “Apakah, bila Anda seorang manusia dengan hati yang orisinal manusia, melihat hal itu semua hati Anda tidak tergerak sedikitpun untuk membela? Atau tidakkah merasa bersyukur dan berbangga bahwa Anda, dalam satu ruang waktu tertentu pernah melakukan hal hal yang bisa membela keadaan mereka?” Berat juga ternyata mempunyai pikiran pikiran besar seperti itu. Karena beratnya untuk beberapa menit aku pun tertidur.

+++

Setelah mendengar derit kereta yang sepertinya berhenti secara tiba tiba, aku membuka mata. Menggeliat sebentar, lalu melihat ke luar jendela. Sebuah stasiun bangunan tua ramai dengan hilir mudik manusia. Bangku di depanku persis sudah kosong dari orang yang mendudukinya tadi. Disamping kiriku, nenek kurus yang mulutnya kembung oleh susur, sebentar menoleh kepadaku. Kemudian tanpa menawarkan kesan apa apa kembali melihat ke luar jendela, melihat hiruk pikuk yang mungkin pernah dilalui dalam bagian tertentu usianya.

Tiba tiba bahu kananku ada yang menepuk. Halus tetapi memberat pada akhirnya. Aku menoleh. Seorang lelaki kurus dengan muka senyumnya, nyengir. Di bahu kirinya tergantung tas kumal yang berbau anyir.

“Depan kosong ya, Mas ya?” mukanya masih nyengir.

“Kayaknya kosong,” jawabku.

“Jo, sini kosong, Jo!” ia menarik lengan lelaki yang berada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil “Jo” itu menoleh, berusaha menyegarkan tampangnya yang agak kaget.

Dua orang lelaki kini duduk di depanku.

+++

Kini kereta berjalan dengan agak lambat, sengaja mungkin untuk menepatkan waktu tiba di stasiun yang bakal dilalui di depan. Kereta api kelas ekonomi memang harus selalu mengalah terhadap aturan cepat lambatnya kereta api kelas kelas lain. Tidak ada aturan yang pasti dan tersendiri bagi kelas ekonomi.

Bosan dengan segala pikiran yang muncul di otakku, kucoba mengobrol dengan lelaki kurus bermuka senyum itu. Dia menempati bangku persis berhadapan denganku. Pas di lutut celananya terdapat robek yang dengan jelas memperlihatkan luka yang masih baru. Ada darah segar di luka itu, sedangkan di sisi sisi robekan celananya bercak bercak darah mengental hitam.

“Kena apa itu Pak, lututnya?” tanyaku membuka percakapan.

“Wah, ketabrak nih,” jawabnya sambil dengan cepat melihat ke arah lukanya. “Tadi pas saya berangkat ke stasiun.”

“Ooo…” sahutku.

“Saya, dari rumah jalan kaki. Lumayan jauh, Mas. Ada mungkin lima kiloan dari rumah saya ke stasiun,” ia melanjutkan bercerita. Dalam hatiku muncul rasa simpati yang makin besar terhadap nasib rakyat kecil seperti bapak ini. Coba bayangkan, untuk bepergian mereka masih harus berjalan kaki sekian jauhnya, padahal banyak kendaraan yang berlalu lalang hanya berpenumpang satu dua orang. Kemubadziran yang sungguh sungguh.

“Ee, di perempatan jalan, kira kira setengah kiloan lagi sampai di stasiun, tiba tiba ada sedan be em we menyerempet dari belakang. Saya terjatuh. Lutut saya agak terseret di aspal butut. Masih untung tidak banyak yang kena.”

“Terus be em we nya lari?” tanyaku.

“Untungnya nggak.” lelaki itu tersenyum.

“Sekarang ini sudah terlalu biasa, orang nabrak terus lari. Jaman sudah biadab!” umpatku.

“Terus sopirnya bagaimana?” tanyaku lagi.

“Sopirnya keluar dari mobil. Yang menumpang mobil itu sebetulnya dua orang. Sepertinya suami istri. Tapi yang keluar hanya yang laki laki. Wuih, pakaiannya bagus. Pakai jam tangan emas, ada cincin batu yang… wah, gagah pokoknya. Saya yang masih terduduk di aspal jalan, sambil mengaduh aduh diangkatnya. Saya terus saja mengaduh,” dia menceritakan itu dengan gerak tangan dan mimik yang lucu. Sepertinya tidak ada beban dengan kejadian sial yang menimpanya. Ya, begitulah rakyat kecil adanya, tidak pernah menuntut macam macam dan bertele tele. Segala sesuatunya bisa menjadi gampang bila berhubungan dengan rakyat kecil, seperti lelaki kurus ini.

Kemudian dia menoleh kepada kawannya yang dari tadi diam saja. Di mataku tampak kawannya itu adalah orang yang baru kali ini naik kereta, naik ke keramaian yang tak teratur. Dari wajah dan gaya duduknya tidak salah lagi, ia adalah orang yang mudah sekali menjadi bingung.

“Jo! Kamu mau makan ya, Jo. Sudah lapar kan?” tanya dia kepada kawannya.

Jauh dari dugaanku, ternyata kawannya itu bisu. Ia hanya membalas pertanyaan lelaki itu dengan aa uu dan gerak tangan yang tidak jelas.

“Oh, sudah lapar juga toh kamu,” kesimpulan lelaki itu dari aa uu kawannya. Dari tas kumalnya ia keluarkan sebungkus nasi. Lalu diserahkannya pada si bisu.

Ia memandangku lagi sambil menepukkan kedua tangan ke pahanya. “Hheah…” hembus nafasnya.

“Terus yang punya be em we itu ngasih apa apa sama Bapak?” tanyaku mencegat lirikan kanan kiri matanya.

“Sebetulnya sopir itu mau memberi saya…” ia berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepala sedikit dan mulutnya berbunyi ‘ck’.

“Tapi saya dengan cepat menolaknya. Kebetulan si Sarjo ini menarik saya untuk dipapahnya berjalan.” matanya melihat ke si bisu, yang ternyata bernama Sarjo itu. Sarjo sedang lahap menyuapkan nasi bungkus yang berwarna kuning oleh zat pewarna dengan lauk ikan asin ke mulutnya.

“Jadi Bapak tidak menerima apa apa dari be em, eh… dari yang punya be em we itu?” selidikku.

“Yaah…” jawabnya sambil tersenyum dan membuka tangannya. Bisa dipastikan, bagaimana makin meningkatnya rasa simpatiku padanya, pada seluruh rakyat kecil yang dalam niat, pikiran pikiran, ucap, teriakan, yel yel dan demo demo yang kulakukan aku bela. Kata yaah nya, senyum kecil dan gerak membuka tangannya hanya bermakna satu dalam otakku, ia tak menerima sesuatu. Tepatnya ia tidak berpamrih pada hal hal yang dirasa bukan haknya. Sebegitu besar ia menghargai kenyataan kenyataan, sehingga kecelakaan, ya hanya sebuah kecelakaan, tidak berusaha diruwet dan dilebih lebihkan. Sungguh jarang aku mendengar kenyataan seperti yang kudengar barusan, dimana orang orang lain selalu memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapatkan uang, ini malah samasekali menolak apa yang sesungguhnya bisa menjadi selayaknya diterima.

Kulihat lagi ia, rakyat kecilku. Tersenyum dengan sinar matanya yang polos. Kubalas ia dengan senyumku yang paling tulus.

“Yaah…,” ia mengulang keikhlasannya. Lalu berkata melanjutkan, “Saya, mm saya harus cepat cepat meninggalkan yang punya mobil itu. Untung si Sarjo ini tindakannya tepat. Coba bayangkan kalau tidak! Wah, pasti ketahuan saya…”

“Ketahuan apa? Seharusnya Bapak mendapatkan sejumlah uang untuk mengobati luka lutut Bapak,” potongku, tidak sabar untuk membuatnya mengerti sedikit tentang hak hak yang seharusnya diperolehnya.

“Soalnya, ketika ia berusaha mengangkat saya, tanpa diketahuinya saya curi dompet di saku belakang celananya. Dan waaah sukses sekali saya hari ini,” kembali ia menggeleng gelengkan kepalanya sambil tangan kanannya menepuk nepuk saku depan celananya. “Bayangkan kalau ketahuan…”

Dan kemudian, terdengar di telingaku suara setengah empuk dari saku celana lelaki itu. Terlihat di mataku senyuman yang amat licik dan kurang ajar. Terasa di bawah tulang paruku sebelah kiri sakit yang mendadak.

Aku tak punya hasrat lagi berbicara…

+++

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.