Pralina

Aku tidak pernah menyangka bahwa mayat yang tergeletak di pinggir jalan depan kuburan umum ini adalah Birin. Birin yang dua minggu lewat, setelah bertahun-tahun tidak pernah kembali ke kampung ini, datang dengan segala kediaman dan kesahajaannya. Ya, pagi ini tetangga-tetangga meributkan adanya sesosok mayat tergeletak begitu saja dengan bercak-bercak darah yang masih kental, dan itu adalah Birin.

"Duh, kasihan betul Bang Birin ini. Siapa yang tega-teganya membunuh dan membiarkannya tergeletak begitu saja, ya?" seorang pemuda kampung ini berkata, entah kepada siapa.

"Mati kok kayak begini," sahut seseorang lain.

"Ya, itulah kalau orang dulunya suka bergagah-gagah. Angkuh!"

Orang-orang yang berkerumun menonton para petugas polsek mengurus mayat tersebut, bertanya-tanya dengan pikiran-pikirannya sendiri, dan menjawab dengan pikiran-pikirannya sendiri pula. Memang jarang sekali peristiwa-peristiwa di dunia ini, semisal soal kematian terjelaskan dengan cukup sempurna, apalagi kematian yang mengenaskan seperti ini.

Melihat wajah kematiannya, aku teringat beberapa kenangan bersama Birin. Entah manis entah pahit, yang jelas itu pernah hadir dalam kehidupanku.

"Kamu suka coklat, Mim?" jelas sekali kejenakaan Birin tergambar dalam tawarannya. Ia bocah yang tak setampan kawan-kawan lain sekolahku. Berhidung pesek dengan rambut agak keritingnya, ia tampak seperti wajah-wajah jahat Amerika Latin yang kini kerap dimunculkan film-film Hollywood. Tetapi itu tidak mencegahku, terutama apabila dipandang bahwa aku sebagai anak perempuan, untuk ternyata menjadi sangat akrab dengannya.

Keakraban itu mungkin terpagut karena di kelas, kami adalah orang-orang yang tak disenangi banyak orang, bahkan oleh guru sekalipun. Alasannya adalah bahwa kami, katanya, merupakan bocah-bocah nakal yang sulit sekali diatur, kurang ajar dan bodoh. Menjadi kambing hitam dalam setiap keributan dan kesalahan adalah nasib kami berdua di kelas yang menjemukan itu. Birin sebagai kambing hitam jantan. Dan aku sebagai kambing hitam betina. Sejak itulah kurasakan dan mungkin juga Birin, bahwa kami akrab.

"Kamu suka coklat kan, Mim?" ulangnya. Waktu itu aku giliran main di tali loncat. Birin biasa mengajakku untuk mencuri jajanan ketika aku sedang asyik-asyiknya bermain bersama teman-teman perempuan kelasku. Dan seperti biasa aku tak pernah tidak tergiur oleh ajakannya. Mencuri bersama Birin sepertinya memberiku kepuasaan yang entah ke bagian mana dari diriku, sehingga aku merasa ketagihan. Ya, dibanding suntuk bermain tali loncat yang tak ada hasilnya.

"Saya sudahan, ah!" kataku pada teman-teman yang menunggu loncatanku. Sedangkan kepada Birin aku hanya tersenyum mengiyakan.

Korban kejahilan kami adalah mak Ruwi, warung jajanan yang ada di timur jalan sekolahan kami. Kalau dihitung-hitung sudah berapa puluh ribu mungkin dagangannya yang kami curi dari mulai kacang-kacangan, permen, buah-buahan sampai mainan-mainan kecil. Tetapi, hal yang seringkali aku syukuri, sepertinya mak Ruwi tidak pernah menangkap sedikitpun niat jahat kami mengambil secara sembunyi-sembunyi dagangannya. Kami pun selalu merasa leluasa ketika melaksanakan kriminalitas kecil kami.

"Sekarang kamu yang bagian beli dan mengajaknya ngobrol." Birin mulai mengatur siasat untuk aksi siang itu. "Aku yang mengambil, ya!"

Aku selalu mengikuti apa yang disiasatkan Birin. Dari beberapa pengalaman yang sudah-sudah aku merasa terjamin Birin selalu tepat mengatur segala situasinya. Kini tinggal mengatur agar jantungku tidak berdegup secara tak teratur. Kutenangkan rasa deg-degan hebat dengan mengatur nafas. Mencoba menghilangkan hirup hembus yang panas menggentarkan.

Beberapa menit kemudian sukses yang sangat mengasyikkan. Jajanan mak Ruwi digelar di satu meja besar yang cukup panjang. Di situ segala macam yang disukai anak kecil terhampar. Mak Ruwi seperti biasa duduk di pinggir sebelah kiri menghadap ke barat. Aku berjalan ke depan meja dagangan itu, sengaja mengambil posisi berhadapan dengan mak Ruwi. Dan Birin mengambil arah yang berjauhan, ke sebelah kanannya. Lalu aku mulai memilih dan menanya hal-hal yang kukira bisa ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke warung mak Ruwi.

"Ini makanan baru ya, Mak?"

"He-eh, enak! Itu dibuat dari buah jengkol. Kerupuk jengkol!"

Kulihat mata mak Ruwi masih tetap memperhatikanku. Syukur, akan kujaga terus agar mata itu tidak melirik kanan kiri.

"Si Emi sudah jajan belum, Mak?"

"Pasti jajan ke si Ijah. Pasti! Padahal masih punya utang sama mak." Mak Ijah adalah warung saingan mak Ruwi di sekolah. Warung mak Ijah berada di sebelah barat. Sudah pasti apabila di sebut nama mak Ijah, emosi mak Ruwi agak naik, soalnya mereka berdua bersaing berat mendapatkan pelanggan bagi warungnya. Untung dari keadaan emosi itu bagiku dan Birin adalah perhatian mak Ruwi yang menjadi tertumpah untuk membicarakan hal-hal jelek menyangkut mak Ijah. Dan karena begitu khusyuknya ia jarang peduli memperhatikan yang lain-lainnya. Ia akan suntuk bicara bersungut-sungut.

Beberapa menit berlalu. Dari sekian banyak pertanyaan, tawar-menawar dan cerita-cerita, aku hanya membeli satu buah apel kecil. Kulihat Birin sudah tidak ada.

"Ini saja, Mak!" kataku sambil menyodorkan receh seratusan.

"Kok cuma beli itu!" sungut mak Ruwi.

"Tidak punya uang." jawabku.

"Ngutang juga boleh, tapi harus dibayar besok."

"Takut! Kata ibu saya, menghutang itu membuat malu."

"Yaaa, sudah kalau tidak mau."

Di satu tempat di belakang sekolah kutemui Birin. Tempat itu memang khusus diperjanjikan bila kami selesai melakukan pencurian. Hari itu sungguh banyak dan bermacam-macam sekali jajanan yang bisa diambil Birin. Kami dengan riangnya berbagi-bagi.

Kuingat-ingat ternyata dalam seminggu hari sekolah aku dan Birin bisa sampai tiga kalinya menggasak dagangan mak Ruwi, belum lagi pengalaman-pengalaman pencurian kepada milik orang lain. Ke mak Ijah juga, tukang bakso, tukang es dorong dan tukang mainan yang memakai sepeda.

Selepas sekolah dasar, walaupun tidak satu sekolah lanjutan pertama, aku tetap akrab dengan Birin. Entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu aku sudah menjadi pacarnya. Birin bersekolah di ST, sedangkan aku di SMP. Dan kami tetaplah merupakan orang-orang yang nakal, bengal. Birin terkenal jago di sekolahnya, bahkan sampai menakutkan orang-orang satu kabupaten. Lebih sialnya lagi Birin waktu itu terkenal sebagai pemabuk juga dan suka memeras anak-anak sebayanya. Aku, terkenal sebagai remaja putri yang genit, perempuan gampangan. Aku kerap mendengar sebutan-sebutan buruk bagi tingkah lakuku. Akupun jadi suka minum minuman keras bersama Birin.

Menjelang selesai sekolah lanjutan pertama, musibah menimpa kami. Dalam satu keadaam mabuk, kami betul-betul berada dalam kekhilafan. Kami dua remaja melakukan apa yang sebetulnya tidak boleh kami lakukan.

Akupun hamil!

Ketika orang-orang mulai tahu perbuatan yang telah kami lakukan, Birin menjadi panik. Sedangkan aku agak tenang, karena ayah ibuku hanya memintaku untuk segera menggugurkan kandungan. Sejak itulah sampai bertahun-tahun lamanya aku tidak lagi bertemu Birin, Birin lari dari kampung.

Dan aku tidak lebih dari dua bulan mengandung. Setelah itu menjadi perempuan yang bebas kembali. Tetapi anehnya, apabila aku mencoba merenungi hubunganku dengan Birin, walau ia sempat membuatku hamil dan ternyata ia lari tak bertanggung jawab, aku tak pernah merasa bahwa itu adalah hal yang lebih daripada sebuah kelucuan. Aku bahkan sering tersenyum dengan kenakalan-kenakalanku bersama Birin.

Rasa sedikit tidak enak hanya sekali muncul ketika aku akan dikawinkan dengan suamiku kini. Tetapi aku berusaha sepasrah mungkin, apapun nasib yang nanti akan dilalui. Kalau ia suka dengan segala apa adanya aku, syukur, kalau tidak, silakan. Dan untung calon suamiku itu adalah orang baik, atau entah lelaki bodoh.

Tahun demi tahun berlalu. Kabar tentang Birin kudengar dari orang-orang kampung ini bahwa ia kini sebagai buruh pabrik semen di kota anu. Bahwa ia kini sebagai penjahat kecil di terminal anu. Kemudian meningkat sedikit sebagai pencoleng dan bajing loncat. Lalu sebagai perampok kelas kakap yang kerap buron. Pernah juga ia diberitakan sebagai pembunuh bayaran.

***

Tiba-tiba ia datang. Banyak orang di kampung kami menjadi resah dengan kedatangannya. Takut kalau-kalau ia melakukan kejahatan di kampung ini. Para perawan kerap bergunjing dan menjadi takut diapa-apakan oleh Birin. Pemuda-pemuda yang sok jago menjadi takut kena getah yang lebih pekat dan dianggap menantangnya. Tetapi kulihat, berdasarkan tangkapan perasaanku, bahwa Birin yang kini datang di kampung ini bukanlah Birin yang dulu, juga bukan Birin yang sering dikabarkan soal-soal buruk dan jahatnya. Ia seorang Birin yang lain. Mungkin saja sebenarnya Birin yang menghilang kemudian datang tiba-tiba itu adalah Birin yang memang baik dan shaleh, yang kini amat merindukan neneknya. Birin yang semenjak kanak-kanak merupakan yatim piatu yang sadar bahwa ada bagian-bagian kehidupannya di kampung ini yang patut diperbaikinya. Tetapi aku tidak pernah menceritakan dugaan-dugaan itu kepada orang lain. Sebagai orang yang pernah begitu dekat dengan kehidupannya aku hanya mencoba mengerti dengan alasan-alasan yang kurasakan sendiri.

Sekarang Birin mempunyai kulit yang agak putih dibanding dahulu ketika ia remaja. Tetapi kumis dan janggutnya ia biarkan tumbuh lebat. Kesehariannya di kampung ini entah melakukan apa. Orang-orang hanya melihat Birin di luar rumah, setiap subuh ketika ia berjalan-jalan dengan pakaian serba hitamnya. Tanpa alas kaki. Mungkin maksudnya ia berolah raga.

Aku kadang-kadang bersengaja bertemu dengannya untuk mengobati rasa penasaranku melihat bagaimana ia akan bersikap bila kami berjumpa. Tetapi ia tidak pernah lebih dari memberikan tatapan kosong dan senyumnya yang terasa asing. Kenangan-kenanganku bersamanya selalu menghantuiku untuk lebih mengenal dirinya kini. Tetapi ia tidak pernah memberi apa yang bisa kuanggap kesempatan. Ia kini hidup di dunianya sendiri yang aneh, bila kuukur dari usia dan kesempatan-kesempatan yang masih bisa diraihnya. Ditambah kesadaranku kini akan kewajiban kerumahtanggaanku, aku pun akhirnya menjadi tak ambil peduli dengan segala yang menyangkut hidup dan keseharian Birin.

Kini, kusaksikan tubuh Birin diangkat ke sebuah dipan kayu yang dialasi tikar. Bagian-bagian tubuhnya membiru legam seperti dipukuli benda tumpul. Ada lingkaran jerat di lehernya. Dan dari mulutnya mengucur darah.

Tidak bisa tidak akupun menangis. Rasa pusing menuntunku pulang. Di kamar mandi aku muntah beberapa kali.

Besoknya terdapat berita di koran-koran, "Seorang Debt Collector Mati."

Aku muntah beberapa kali lagi.

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.