Pohon Kersen Ayah

Ayah ingin seperti pohon ini. Tidak terlalu tinggi, tidak terlalu besar, tetapi teduh. Ia melindungi bumi dari energi yang berlebihan. Walaupun ia kadang-kadang menggugurkan daunnya secara sembarang. Namun itulah kenakalan makhluk hidup yang wajar.

Kini aku memperhatikannya. Ada nuansa tertentu yang meliputi pikiranku ketika pohon ini berisik dan bergoyang perlahan dihembus angin. Ini mungkin karena ayah ramai diperbincangkan lagi.

"Cil!" kata ayah suatu ketika. Aku biasa dipanggilnya dengan sebutan Cilik. "Manusia harus mencintai sesuatu bagi dirinya."

Ayah berjalan berdampingan denganku di taman rumah. "Coba lihat, apa yang Ayah cintai pagi ini?" Begitulah ayah dalam keseharian. Sukanya membikin teka-teki filosofis yang spontan. Dan begitulah aku dalam teka-teki ayah. Selalu diam dan menunggu untuk diberi, entah dongengan atau semacam kontemplasi.

"Ayah mencintai pohon ini!" lanjut ayah. "Karena penciptaannya menghadirkan kebesaran yang tidak angkuh. Coba kita rasakan! Ia melindungi kita dari panas dan silaunya matahari." Ayah jongkok di atas kakinya yang telanjang. Lalu tangannya diusapkan pada tanah. "Ia mampu mendinginkan bumi sedingin ini."

Aku pun ikut berjongkok dan mengusapkan tangan ke tanah.

"Kita harus dapat menirunya, Cilik!" Ayah menengadahkan kepalanya memandang sinar di celah-celah dedaunan. "Ia menerjemahkan matahari yang asing menjadi sebuah keakraban yang baru. Pelangi mampu diraih bulu-bulu halus daunnya dan ia membuatnya menjadi senyum yang tulus untuk kita."

Aku tersadar sejenak. Kutengok kembali buku-buku yang sengaja kuserakkan di atas meja. Buku-buku yang menulis tentang ayah itu membeku dalam pikiranku. Seperti benteng-benteng yang memisahkan pengertianku dengan sejarah hidup ayah. Ayah, manusia yang berlalu lalang dalam hidup keseharianku dibuat menjadi asing oleh tumpukan buku-buku itu. Dan aku merasakan kembali kehilangan ayah. Entah untuk yang keberapa kalinya.

"Ayah telah membaca banyak buku, Cilik. Dan ayah selalu punya kesimpulan akhir yang sama bahwa segalanya berangkat dari kedalaman kita memandang semesta ini. Kedalaman itulah yang membuat kita mencinta!" kalimat terakhir diucapkan ayah dengan tekanan yang berbeda. Ayah kembali menengadahkan kepala sambil membersihkan pandangannya dari benda-benda sekitar. Mata ayah menembus mega dan entah berakhir di mana. Mata ayah memang punya daya jangkau yang jauh, yang dapat menembus lubuk segala hati.

Namun mengapa ayah bisa jatuh dalam pengasingan yang keji pada akhir hayatnya, aku pun hanya punya jawaban yang menerka-nerka. Apakah ia sendiri telah mengasingkan kedalaman dirinya, sehingga pengasingan-pengasingan lain tiba sebagai kelanjutan yang paling mungkin darinya? Apakah ia telah mengubur percakapan di bawah pohon bersamaku dan lupa sekali-kali berziarah untuk mengambil makna dari ritus kesunyian yang pasti dialami ayah dalam usianya? O, Ayah. Aku pun jadi gemar membikin teka-teki filosofis yang spontan.

"Dan," ayah semakin bersemangat berkata-kata. "Orang-orang yang sanggup mencintalah yang dapat menjadi orang besar. Kau tahu apa artinya menjadi orang besar?" tiba-tiba ayah bertanya.

Aku terdiam. Tetapi segera menjawab setelah melihat bibirnya hendak kembali berkata-kata.

"Artinya, dapat beristri lebih dari dua!" saya mencoba mengolok-oloknya. Ayah seperti biasa hanya tersenyum. Namun kulihat tanda tanya besar di wajahnya yang memerah. "Ayah, ayah," batinku.

Masih dalam senyum malunya, ayah melanjutkan. Tampak ia berusaha mengelak dari kata-kataku tadi. "Orang besar adalah orang kecil yang mampu melindungi kaumnya. Seperti pohon ini, kecil tetapi teduh melindungi."

Kulihat kembali serakan buku-buku angkuh itu. Sampulnya yang mewah dan kokoh seperti tirai yang menutup sebuah misteri, rahasia hidup seorang pejuang yang sedang dibikin merana berkepanjangan. Pada akhirnya aku melamunkan ayah hidup kembali. Tetapi yang terjelma adalah ayah yang sakit. Seluruh tubuhnya bengkak-bengkak, kulitnya membiru pucat dan tatapannya lesu.

"Ayah kok bisa sakit, Yah?" tanyaku tercekat.

"Ayah tidak sakit, Cilik. Hanya seluruh tubuh Ayah sedang giatnya memberontak terhadap Ayah." Ayah tersenyum. Senyum yang biru lebam juga.
"Tapi ayah kelihatan lemah sekali."
"Tidak, coba lihat," Ayah membusungkan dada sambil mengatupkan bibirnya kuat-kuat. "Apa Ayah tampak lemah?" Ayah berkata seperti serdadu yang melapor pada atasannya. Kamipun tertawa.

Kupandang kembali pohon kersen ayah. Ia semakin berisik dan terhempas-hempas daunnya oleh angin siang. "Ia mengisyaratkan prahara?" hatiku tak tenang. Satu persatu daun-daun tua kersen itu gugur. Tampak di udara daun-daun itu melayang bersama, bagai hujan salju yang eksotis.

"Setiap bagian dari semesta ini menempuh labirin, Cilik." Ayah mengambilkan satu daun kering untukku. Lalu aku mengusap-usapkannya ke bawah bibirku. "Ketika kembali menjadi bumipun, ia harus menempuh labirin itu. Ia, seperti daun yang kau pegang, tak dapat lepas menempuhnya. Melayang-layang, bagai seseorang yang mencari tempat yang pantas bagi dirinya, bagi tempat kembalinya yang abadi."
Pengasingan adalah labirin ayah yang tak dapat kutemukan pangkal ujungnya. Ia merenggut kemesraan kami sampai batas-batas yang paling sederhana; kebersamaan ayah dengan keluarga di hari-hari usia tuanya. Itukah harga yang harus dibayar ayah sebagai seorang tokoh politik? Ya, bagiku kini tidak lain bahwa kenyataan-kenyataan yang menimpa ayah itulah hiruk pikuk politik.

Seperti topan dahsyat ia mencerabut dan menghempaskan pohon kersen dari negeri ini ke negeri penuh tanda tanya. Hanya akar-akar ayah yang menggapai-gapai, mencari masa lalunya. Ya, itulah hiruk pikuk politik. Buah dari benih pengkhianatan enam lima. Telur di ujung tanduk perikehidupan bangsa ini. Bagian yang paling akrobatik bagi pemimpin-pemimpinnya. Dan inilah yang paling tragis buatku, ia membikin bentangan tali kecil yang memaksa ayah untuk berjalan di atasnya. Dan ayah bukanlah pemain akrobat yang baik.

Ayah terjatuh dari ketinggian. Di pengasingan, jiwa dan pikiran ayah difosilkan. Ditimbun seribu gempa. Ayah, dalam pikiran saya kini, telah disudutkan dalam distorsi yang tak berkesudahan. Pengasingan itu tidak hanya memenjara ayah waktu hidup. Tetapi sampai saat ini, ketika ayah, seperti pohon kersen kesayangannya dulu, telah menyatu tanah.

Aku kembali tersadar. Ayah adalah orang besar. Aku orang kerdil. Lalu kurapikan buku-buku tentang ayah, yang sedari tadi memainkan emosiku sedemikian rupa. Terngiang di telingaku suara ayah, "Ayah telah membaca banyak buku, Cilik. Dan ayah selalu punya kesimpulan akhir yang sama bahwa segalanya berangkat dari kedalaman kita memandang semesta ini. Kedalaman itulah yang membuat kita mencinta!"

Aku pun ingin seperti pohon itu. Tidak terlalu tinggi, tidak terlalu besar, tetapi teduh. Ia melindungi bumi dari energi yang berlebihan. Walaupun ia kadang-kadang menggugurkan daunnya secara sembarang. Namun itulah kenakalan makhluk hidup yang wajar.

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.