Perzinahan

Rasa penasaranku pun terpuaskan sudah. Hanya beberapa menit berlalu. Kini tinggal kuredakan sisa-sisa nafsuku yang tiba belakangan. Kulihat Ratmi mengenakan kembali pakaiannya. Lalu membereskan make-upnya. Dan melambaikan tangan padaku ketika hendak menutup pintu. Keluar kamar.

Hening beberapa saat. Dan kutemukan kembali diriku pada detik-detik tersebut. Tetapi siapa? Apakah aku telah berganti arti, dari satu ke lain identitas? Apakah aku laki-laki yang sedang berubah? Berubah menjadi apa?

Sisa alkohol masih mengendap di pening kepalaku. Tetapi kupaksa untuk mengingat-ingat kenyataan yang barusan lewat. Sebuah petualangan. Atau drama. Atau malah mungkin kekonyolan. Aku belum tahu pasti.

"Masihkah kau tega membiarkan dirimu membusuk sendirian di depan bar ini?" tanya seorang perempuan yang tiba-tiba saja duduk di sampingku.

"Aku sedang minum. Dan aku tidak sendirian," kataku pelan sambil mengitarkan pandangan dengan acuh, seolah seluruh makhluk yang ada di ruangan ini adalah para karibku. Perempuan itu tersenyum. Aku tahu ia tak ingin percaya apa yang kuomongkan, karena ia hanya percaya bahwa aku adalah apa yang ada dalam benaknya. Laki-laki kesepian.

"Aku memperhatikanmu tiap malam," kata perempuan itu lagi, "Aku menjadi semakin iba kepadamu."

Brengsek perempuan ini. Laki-laki tak butuh rasa iba!

"Makin hari aku semakin mengerti bahwa minuman-minuman ini tak berarti banyak bagimu. Minuman-minuman ini memperburukmu dalam pendanganku. Kau lelaki gagal?" perempuan itu nerocos tak karuan. Aku dibuatnya tersentak beberapa saat.

"Nona, anda sedang bicara apa?"

"Kita memperbincangkanmu. Kau lelaki gagal, bukan?" pertanyaan kurang ajar itu diulanginya. "Bicaralah padaku dengan jujur. Lelaki butuh perempuan lain selain istri atau pacar-pacarnya untuk diajak bicara soal kegagalan-kegagalannya." tambahnya.

Aku terpojok oleh filsafatnya. Tidak tahu kenapa aku merasa ada yang benar dalam omongannya yang terakhir ini.

"Lelaki butuh berubah setiap saat," ia melanjutkan, "Ketika di depan perempuan yang satu, ia harus tampak sebagai orang berhasil yang tak kenal menyerah. Di depan perempuan lain ia dapat melampiaskan cinta diri dan keegoisannya. Di depan perempuan-perempuan lainnya ia boleh kekanak-kanakan, manja bahkan menangis dan menghiba-hiba dengan kegagalan-kegagalannya. Aku telah lama kenal kelelakian. Dan aku menikmati sisi-sisinya yang paling unik, yang tersembunyi dari kesan awam yang senantiasa ingin tak mempercayai bahwa laki-laki bisa begini atau begitu."

"Laki-laki memang unik." gumamku tiba-tiba. Tak mengerti juga aku mengucap kata-kata itu. Untuk apa? Untuk kesombongan atau pengakuan satu hal yang rendah dalam diriku.

Selama pergi ke bar ini, aku memang tak berniat mendekati satu perempuan pun. Ditambah usiaku yang muda dibanding kebanyakan pengunjung lain bar ini, yang rata-rata empat puluh ke atas, para perempuan pun rasanya enggan mendekatiku. Mungkin menurut perempuan-perempuan di bar ini "usia adalah uang", sehingga lelaki paling tualah yang akan menjadi primadona. Sedangkan aku, sesuai niatku, aku bersyukur muda dan tak didekati perempuan. Aku beristeri. Tetapi malam ini tiba-tiba ada perempuan. Kini kucoba memperhatikannya. "Gadis muda yang kokoh." batinku.

Menyadari kediamanku, aku mulai berusaha mengakrabinya. "Nona tokoh feminis?" tanyaku pura-pura serius. Tetapi perempuan itu menangkap nada bicaraku. Ia tertawa kecil. Aku lelaki lugu, dipikirnya.

"Feminis?" gumamnya sembari melayangkan pandangannya pada bola kristal yang tergantung di tengah ruangan. Bola itu berbinar-binar, tetapi tetap tak dapat menyembunyikan kenyataan diam dan sepinya. Seperti pengunjung-pengunjung bar ini.

"Bagi saya sendiri bukan! Walaupun ada persamaannya." jawab perempuan itu. "Seperti para feminis, aku perempuan yang memanfaatkan sebesar-besarnya keperempuananku."

"Tetapi ah, anda pasti tahu maksud saya." Ia kembali tertawa. Ada nada kekalahan juga di situ. Kemudian kulihat di sinar matanya, ia ingin menghambarkan kembali kepekatan yang mulai berkembang antara aku dan dia.

"Ah, mengapa kita mesti sampai ke hal-hal yang menjurus identitas. Jaman sekarang kita tak begitu menghendakinya, bukan? Aku siapa? Ya, that's what I am." katanya sambil membuka lebar-lebar kedua tangannya. Aku menerka apa yang dibutuhkan perempuan ini selanjutnya.

"Ratmi. Panggil saya Ratmi! Dengan itu saya sudah cukup merasa jadi manusia," tangannya mengulur ke depanku. Aku memberikan gelas untuknya yang sedari tadi tertegun menampung rasa yang mungkin sanggup memberi sesuatu kepadanya.

"Perkenalan yang aneh," gelengnya. "Aku memberimu jabat tangan dan kau memberiku minuman keras." ia pun tertawa.

Padahal aku sengaja melakukan itu untuk menahan satu nafsu yang tumbuh, entah dalam otak atau dadaku. Aku lelaki beristri! Aku lelaki setia! Keringat dingin mengucur di kening, dada dan telapak tanganku. Aku teringat istriku. Kubayangkan ia sedang berdoa, menghadapkan keresahannya memiliki suami yang kerap keluar malam hanya untuk sesuatu yang tak pernah dipahaminya. Kuingat wajahnya ketika pertama kali menegur tentang larut-larut malam kepulanganku. "Mas, kenapa tiap malam pulang selarut ini?"

“Tidak apa-apa. Ini menyangkut kebutuhan laki-laki yang biasa. Tidak aneh!" jawabku mengambang.

Istriku perempuan yang malas berpikir. Kulihat mimiknya yang tak antusias dan senantiasa acuh tak acuh. Ia biarkan aku berlalu dengan keangkuhanku. Dan semakin hari timbul kebencianku kepadanya. Akhir-akhir ini ia seperti tak mengharapkan apa-apa dariku. Atau mungkin juga ia tak membutuhkan apa-apa dari kehidupan ini; karena aku ingin menjadi kehidupan bagi siapa yang disebut istriku. Aku benci perempuan yang tak menghendaki apa-apa bagi dirinya.

"Hei, hei!" Kipasan tangan Ratmi membuatku tersadar. Kuraih tangannya yang putih. Lalu kutumpangkan di paha kanannya yang terbuka. Sebuah keajaiban dunia yang lain bagiku. Menyentuh bagian tubuhnya itu menyengat kesadaranku akan semangat yang tersia-sia. Yang tumpah dalam muntahan mabukku di tengah-tengah malam hampir sebulan ini.

"Oh, istriku. Aku tak tega berzina. Tidak! Tidak! Kebencianku padamu tak akan membuatku menjadi laki-laki yang picik dan kotor."

Tetapi gejolak rasa penasaran menjadi obsesi yang sulit kubendung. Bayangan bagaimana nikmatnya menjadi laki-laki dengan perempuan lain menghantui pikiranku. Satu kali. Satu kali saja, aku mesti mencoba.

Ya Tuhan, bayangan istriku yang murung dengan segala teka-tekinya membulatkan penasaranku membimbing Ratmi ke sebuah kamar. Melucuti seluruh pakaiannya. Dan kualami petualangan ke negeri antah berantah. Ratmi adalah perempuan yang pasrah namun binal. Memotret setiap kerut-kerut di jiwaku sehingga tuntas direguknya batas-batas yang kumiliki. Ia seperti sebuah lampu blizt yang mengerjap terus menerus. Memerahkan kulitku. Aku mengerang.

"Aku lelaki gagal?"

"Ya, aku lelaki gagal..

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.