Perdamaian Perdamaian

Dari jam enam pagi tape-nya Nita meneriakan lagu-lagu Sepultura. Anak-anak kos lainnya jadi pada kebingungan dan panik, “Ni anak tumben-tumbennya nyetel lagu beginian? Lagian nyetel tape kayak di diskotik aja, kerasnya minta ampun.”

Ayu, Reni dan Yuli sepakat unjuk rasa. Mereka berbaris di depan kamar Nita. “Nitaa! Ngapain lagu setan kaya gitu kamu setel!” teriak mereka ngalahin suaranya Max Cavalera.

“Apa, setan? Di mana?” jawab Nita dari dalam kamarnya.

Anak-anak jadi sebel denger jawaban Nita.

“Dobrak aja pintunya!” kata Ayu sadis. Untung firasat Nita tajam, dibuka pintunya terus nongol, ”Hee, belum pernah denger tape bagus, ya? Kok pada baris di sini?”

“Kita di sini bukannya dengerin tape lu. Kita lagi unjuk rasa, tahu!” Reni sewot.

“Unjuk rasa? Kok di sini? Tuh ke gedung de-pe-er!” Nita tetap aja cuek.

“Ngapain jauh-jauh. Soalnya ini menyangkut elu!”Yuli tak kalah sewotnya.

“Menyangkut gue? Emangnya gue oknum?”

“Lu bukan oknum. Tape lu tuh udah kemasukan setan. Apa perlu kita-kita bawa ke dukun? Atau biar cepet dan nggak nyusahin, sini gue siram air!” Ayu ikut-ikutan kesetanan.

“Iya, Nit. Kalau lu pingin nyetel lagu kayak gitu , pake hedpun kek. Kan mau sekeras apapun gak bikin kita stress. Tuh lihat di belakang! Tikus-tikus pada kojor denger tu lagu.” Yuli nerangin.

“Oo, protes ceritanya, nih! Bilang dong dari tadi!” Nita pura-pura nggak ngerti.

Anak-anak jadi rada tenang setelah Nita mengecilkan suara tape-nya. Nita
kembali suntuk di kamar. Ayu nyuci di belakang. Reni nyapu-nyapu halaman depan. Dan Yuli kembali ngetik di kamarnya.

Tempat kos milik Bu Suhud dihuni lima anak antik-antik. Empat cewek dan satu cowok. Mereka adalah Nita dan Yuli yang kuliah di fakultas hukum, Ayu kuliah ekonomi dan Reni sastra, dan yang terakhir satu-satunya penyamun disarang perawan itu, Deni, keponakan Bu Suhud kuliah di filsafat. Sedangkan keluarga Bu Suhud terdiri dari Pak dan Bu Suhud dengan satu anaknya, Sari yang baru duduk di kelas dua es-em-a. sebetulnya Bu Suhud punya dua anak, tapi yang satunya lagi nggak di Jogja, namanya Widodo kuliah di Jakarta.

Tidak seperti biasanya, hari Minggu ini anak-anak pada betah di rumah. Kecuali Deni yang belum pulang dari luar kota ikut seminar. Anak satu ini memang bisa di sebut jinnya seminar, di mana ada seminar, di situ dia gentayangan. Hi-hi takut, ya?

Nita masih suntuk di kamarnya. Sepulturanya tidak habis di bolak-balik. “Tu anak, sekalinya suka, kebangetan!” batin Ayu, “Padahal kemarin-kemarin dia paling anti yang namanaya musik rock. Ee, sekarang malah langsung ber-heavy metal!”

Tiba-tiba Ayu ingat sesuatu, “Apa Nita ribut ama Roni? Terus jadi stress kayak gitu!” Dia jadi mikirin Nita, ”Kasihan kalau iya. Kan dua minggu lagi ujian semester!” Sense of belonging-nya muncul. “Ah, nyelidik Ah!” Ayu girang bagai kucing nemu ikan paus (nggak kebesaran tuh?).

Selesai menjemur pakaiannya, Ayu ke kamar Nita. “Nit, sendirian aja, ya? Perlu temen dong?” goda Ayu di depan pintu kamar Nita.

“Perlu sih, nggak. Tapi kalau kamu maksa silakan aja masuk!” jawab Nita nyelekit. Ayu masuk. Dilihatnya di cermin Nita tertempel tulisan di kertas ‘DASAR COWOK! IBLIS YANG NGGAK BISA DIPERCAYA’. Ayu jadi yakin atas dugaan tadi, “Nita pasti lagi punya masalah dengan Roni.”

Ayu duduk di pinggir kasur, kemudian katanya, “Nit, tu tulisan buat siapa?” Ayu nunjuk tulisan di cermin.

“Buat siapa lagi kalau bukan si Roni!” jawab Nita ketus.

“Nah lho?” batin Ayu yang naluri kedetektifannya muncul.”Emangnya ada apa sama itu cowok sampai-sampai diidentikkan iblis segala?” selidiknya.

Nita ketempat Ayu duduk. Rupanya tu anak terpancing juga buat cerita. “Gini lho, Yu. Si Roni kan janji malam minggu tadi nggak bakalan datang. Nah, jadinya semalam aku jalan-jalan sama Anya di Malioboro. Eee, di Malioboro aku lihat dia menggandeng cewek. Cakep lagi. Gimana aku nggak uring-uringan kayak gini.” Papar Nita dengan hati hancur, “Pokoknya kalau semalam aku nggak baca-baca, bisa kuobrak-abrik deh tu iblis!” menyedihkan juga ya, ceritanya?

“Nah, terus apa hubungannya itu kejadian ama kaset setan yang tidak brenti-brentinya kamu setel?” Ayu bertanya mengejek. Sengaja ia membelokkan pembicaran itu ke lain soal, karena ia percaya bahwa apapun pembicaraan yang bakal muncul menyangkut cerita Nita barusan, tidak akan memberikan suasana yang lebih baik. Nita masih emosional dengan kejadian yang menimpanya, sehingga untuk berpanjang lebar tentang hal itu nanti saja.

“Aku kan jadi cemburu berat, Yu! Terpaksa aja beli kaset setan. Kan nggak bisa tahan sama iblis, siapa tahu bisa tahan sama setan!” Nita menjawab sekenanya. Tetapi yang penting bagi Ayu adalah berhasil dengan niatnya.

“Katanya lagi bokek! Kok berani-beraninya beli kaset segala!” Ayu nyelidik lagi.

“Ssst. Jangan bilang-bilang! Semalam aku nemu uang sepuluh ribuan di jalan.” bisik Nita dekat telinga Ayu. Ayu kaget dan kegirangan. Jadinya lepas kontrol, lalu berteriak, ”Hah, kamu nemu duit!”

Reni dan Yuli yang lagi sibuk di kamarnya dengar dan langsung menghambur ke kamar Nita. ”Bagi-bagi dong, Nit! Kebetulan kita lagi ngidam gado-gado!” serentak Reni dan Yuli. Nita berteriak histeris, ”Dasar orang miskin! Denger duit, ribut!”

***

Jam setengah dua siang Deni datang dari luar kotanya. Dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia melangkahkan kakinya.

“Girang, nih!” Tanya anak-anak cewek yang lagi duduk-duduk di ruang tamu belakang. Deni tertarik ikut nimbrung duduk di situ.

“Heh, pingin makanan, nggak?” tanyanya kemudian. Anak-anak jadi pada ribut, “ Iya, iya!”

“Sama dong! Aku juga laper!” jawab Deni.

“Huuu…” anak-anak kompak kecewa, “ Kirain mau ngasih!”

Tiba-tiba dari dapur terdengar suara Pak Suhud berteriak, “Hei anak-anak, mau makanan nggak?” tawarnya. Anak-anak pada diem. Takut kena tipu lagi. Tidak lama berselang Pak Suhud menyambung, ”Kalau tidak mau, ya sudah. Saya habiskan sendiri!” Anak-anak pada mau pingsan saking nyeselnya.

Sampai jam dua siang anak-anak masih asyik cerita-cerita. Mungkin sudah rindu banget ngumpul-ngumpul setelah beberapa minggu belakangan mereka sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Jadi biar nggak kehilangan komunikasi, ada kesempatan dipergunakan sepuas-puasnya.

Lagi ribut-ributnya ngomongin soal film, si Deni nyeletuk, ”Hei Nit. Ngomong-ngomong, gimana tuh bang Roninya. Nggak biasanya kamu nggak nyeriatain dia? Tadi pas keluar terminal, aku ketemu lho sama dia.” Nita yang lagi enak-enaknya tertawa jadi diem. Deni jadi keheranan sendiri. ”Wah, hebat nih! Si Roni punya ilmu apa, ya? Baru disebut namanya aja bikin cewek pada diem.” Benak Deni bingung.

“Heh, kok pada diem!” tegurnya.

“Pokoknya kamu jangan nanyain soal Roni deh! Tanya soal lain aja! Soal suksesi kek, kebijaksanaan uang ketat kek, atau yang lain-lain. Terserah. Asal jangan nyebut-nyebut nama Roni!” jawab Nita dengan kesal.

Deni tahu sekarang. ”Lagi ribut ni anak.” Kata hatinya. ”Iya deh, maafin aja! Soalnya aku nggak tahu kalau kamu lagi ribut sama itu tuyul!” Deni menjelaskan singkat.

“Maaf memaafkan soal Hari raya!” jawab Nita menirukan Datuk Maringgih di sinetron Siti Nurbaya dulu. Semuanya tertawa. Tapi sebentar kemudian Nita pamit masuk ke kemarnya. Deni merasa bersalah jadinya.

“Wah! Lagi gawat bener ya, hubungan Nita sama Roni?” tanyanya kepada anak-anak.

“Kukira iya! Soalnya semalem Nita melihat Roni menggandeng cewek lain di malioboro.” Ayu menerangkan. Kemudian lanjutnya, “Dasar cowok! Semuanya buaya!”

Deni dengan sewot membela diri, “Heh, siapa bilang? Aku nggak!”

“Kamu sih buaya bukan, tapi kadal!” Reni menambahkan, yang kemudian di sambut tawa anak-anak lainnya. Lagi asyik-asyiknya mereka tertawa lewat Pak Suhud sambil menjingjing kandang burung kesukaannya. Roman mukanya seperti orang yang sedang berkabung.

“Kok, burungnya nggak bunyi, Om?” Tanya Deni.

“He-eh nih! Dasar burung bego! Nggak dikasih makan seminggu aja, mati!” Pak Suhud menjawab sedih campur nafsu. Anak-anak keheranan, ”Ini yang bego burungnya, apa bapak kos?”

Selepas maghrib anak-anak ngumpul kembali di ruang tamu belakang. Wajah mereka rata-rata ceria. Hanya Nita yang masih keliatan ruwet. Dari kamar Deni terdengar suara orang mengaji. Kayaknya Deni lagi insyaf-insyafnya (soalnya sebentar lagi mau ujian. Kali?). Pak Suhud dan Bu Suhud berdua nonton tipi di dalam rumah. Sari khusyuk belajar di kamarnya. Tiba-tiba terdengar bel tamu berbunyi.

“Wah, tamu nih! Siapa ya?” Yuli mengingatkan teman-temannya. Seperti biasa mereka berhompimpah dulu, yang kalah dapet giliran nengok tamu. Dasar anak-anak centil, tamu aja dijadiin mainan, kayak nggak ada mainan lain. Ayu bagian giliran. Ia berjalan ke depan.

Di teras depan berdiri satu makhluk. Si Roni. Ayu tersikap. “Hu-hu bakalan gawat, nih! Ngapain si Roni datang?” pikir Ayu. Ayu membuka pintu ruang tamu depan dan mempersilakan makhluk itu nunggu di dalam.

“Nita ada, Yu?” sapa Roni.

“Ada. Sebentar saya panggilkan!” jawab Ayu sambil bergegas ke belakang.

“Nit, Nit, iblismu datang!” teriak Ayu tertahan.

“Hah, Roni?” Nita kayak orang kebingungan. “Ngapain tuh iblis kemari? Mau nakut-nakutin aku, apa! Dasar cowok nggak tau diri! Nggak punya firasat kalau aku lagi engri!”

Anak-anak yang lain ikut bingung juga. “Bakal gimana rumah kalau Nita rebut sama Roni? Bisa-bisa besok pagi kerja bakti beresin ruang tamu?”

“Nit, kalau tengkar jangan keras-keras, ya! Malu sama tetangga!” pesan Yuli.

Dengan jalan dimantep-mantepin akhirnya Nita siap juga nemuin cowok yang dituduhnya udah jadi iblis itu. Deni muncul dari kamarnya. “Nit, perlu golok, nggak?” tawarnya sambil cengengesan. “Kalau perlu, aku pinjemin!”

Nita udah nggak peduli sama omongan anak-anak, “Dasar turunan Hitler! Temen susah, ditambahin!” umpatnya.

Di ruang tamu, Roni duduk dengan wajah berseri-seri. Dalam hati Nita ngumpat. “Bajingan! Baru jadi iblis semalam aja udah kelihatan brutalnya!”
Nita melihat senyum Roni bukanlah sebagai senyum, tapi seringai-seringai persis drakula. Tanpa senyum sedikitpun Nita menghadapi drakula itu.

“Met malam, Nita!” dengan senyum yang pas Roni mengiringi sapaannya.

“Nggak ada lagi selamet-selametan, tahu!” emosi Nita tumpah bagai air bah bersama jawabnya itu. Sebetulnya ia ingin mengeluarkan sekaligus seluruh keramahannya detik itu juga, tapi ia tidak menemukan kata-kata yang bisa mewakili kegusarannya secara lengkap. Mendengar jawaban yang tidak disangka-sangkanya, Roni kelihatan sedikit schock, matanya berkedip-kedip seperti anak cacingan. Belum sempat ia menguraikan keterkejutannya, Nita menyambung dengan lebih berapi-api. “Ngaku aja! Siapa cewek yang kamu gandeng kemarin malam… Hah!” Nita sengaja menyebutkan hah-nya dengan berselang. Niatnya biar Roni tahu dia sungguh-sungguh sedang marah, tapi di telinga Roni hahnya dia kedengarannya seperti lawakan gaya Srimulat. Roni mengembangkan senyum yang lebar di bibirnya, kemudian menjawab dengan ringan-ringan tertahan.

“Oo, itu toh yang bikin kamu sewot? Nita, Nita itukan calon adikmu!”

“Hah, calon adikku? Berarti adiknya!” Hati Nita meloncat-loncat, entah kegirangan entah geli. Dengan spontan ia pasang senyum di bibirnya. Dan yang lebih menakjubkan, dengan sekejap mata, Roni telah berubah menjadi malaikat manis di penglihatannya, bukan lagi iblis atau drakula.

“Tia sabtu-minggu kemarin study tour bersama teman-teman es-em-a-nya keliling Jogja. Nah, malem minggu kemarin dia minta dibeliin souvenir di Malioboro. Masak kamu lupa sama wajah Tia! Udah pernah lihat kan fotonya?”

Nita mengangguk-angguk kecil mendengar kata-kata Roni, tapi masih ada rasa penasaran, ia menyanggah pula. “Oo, Tia toh! Kok beda sekali dengan fotonya?”

“Iya! Kalau di foto kan jelek! Padahal aslinya… apalagi!” kelakar Roni.

Mendengar itu Nita tertawa. Kemarahannya yang menggunung kini telah punah entah ke mana (dilelang ke satpam kali? Biar satpam-satpam tambah serem!).

“Lagian, kamu lihat, nggak negur! Cemburu ya? Dasar cewek, tahunya cemburu aja! Coba kalau kamu negur! Kan bisa kenalan langsung tuh sama Tia! Habis mau sengaja dikenalin Tianya punya jadwal yang ketat dengan teman-temannya. Ke Malioboro aja sebetulnya mendadak.” Nita tersipu-sipu diejek seperti itu.

Dalam hatinya Nita jadi geli sendiri. Cewek yang kemarin digandeng Roni, ternyata adik Roni sendiri. “Hi-hi, adik dicemburuin!” Nita dijalari rasa malu akhirnya. “Gimana nih cerita ke teman-teman? Tadi siang udah terlanjur kalang kabut sih!”

Selanjutnya, setelah ngobrol ini itu, jam sembilan lebih sedikit Roni pamit. “Besok senggang, nggak?” Tanya Roni. “Kalau senggang, akan saya ajak jalan-jalan!”

Nita mengangguk dengan semangat. Wajahnya dihias senyum yang khas, senyum pertobatan.

Setelah Roni pulang Nita langsung berlari menuju kamarnya. Tulisan di cerminnya disobek-sobeknya. Kemudian ia keluar kamar membuang sobekan itu ke tong sampah.

“Kok sepi-sepi aja ributnya?” Reni menjegalnya dengan ejekan. Nita merah pipinya. Semua anak keluar kamar, joged sambil nyanyi lagu kasidah. “Perdamaian….perdamaian…”

***

Di perjalanan pulang Roni melamun di atas sepeda motornya. Ia mencoba mengingat-ingat bagaimana ekspresi wajahnya ketika tadi Nita menanyakan cewek yang digandengnya malam minggu kemarin.

“Nita tau nggak ya, kalau aku berbohong? Mudah-mudahan mukaku tadi nggak ngasih info kalau aku buaya.” Di sela-sela rasa khawatirnya, tiba-tiba menyelinap keyakinan bahwa Nita mempercayai semua omongannya. Dan dalam hati terbesit satu kebanggaan yang konyol.

“Dasar cewek! Dibohongin mudah aja!”

Ya, sebetulnya cewek yang malam minggu digandeng Roni bukanlah Tia, adiknya. Tetapi Ratna, pacar Roni di kampungnya yang kebetulan sedang piknik ke jogja.

Kasihan Nita. Kasihan Ratna. Dan entah siapa lagi. Mereka tidak tahu kalau Roni buaya.

(p)(u)(f)

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.