Pada Sebuah Shalat Jum'at

Apakah arti ibadah baginya? Aku melihatnya pertama kali ketika aku shalat jum'at untuk yang pertama kalinya di mesjid ini. Di sebuah mesjid yang terletak beberapa ratus meter dari tempatku bekerja. Sebuah mesjid sederhana namun menyimpan sejarah berdirinya organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia. Mesjid dengan sebuah pemakaman di depannya

Ya, apakah arti ibadah baginya? Seseorang yang tidak pernah menjadi perhatianku, namun setiap aku pergi shalat jum'at ke mesjid ini sudah pasti aku melihatnya. Kalau ia tidak bersila di sampingku ketika khatib membacakan khutbahnya yang isinya dari itu ke itu saja, ia pasti ada beberapa shaf di depanku

Ya, apalagi kini. Aku lebih tertarik untuk berpikir tentang keberadaannya daripada mendengarkan khutbah secara seksama. Apabila kita berpikir secara mendalam tentang diri kita sendiri atau alam yang ada di sekitar kita, bukankah itu lebih bermanfaat daripada beribu-ribu khutbah yang membosankan

Ia seorang manusia yang lahir dengan nasib, yang menurut pandangan umum orang, tidak menguntungkan. Bahkan untuk sebagian orang merupakan takdir buruk atau malah semacam aib. Saya sendiri merasa sulit memberi kata yang pantas bagi keadaannya. Idiot, maaf saya menyebutkan kata tersebut, ya ia mungkin seorang yang idiot. Dari kepalanya yang besar dengan struktur wajah yang jauh dari enak dipandang, menyorotkan, seperti lampu senter yang kehabisan baterei, keinginan untuk hidup secara terencana dan menikmatinya secara maksimal. Tinggi badannya tidak lebih dari seratus tigapuluh sentimeter dengan kegemukan yang tak terurus. Matanya perpaduan antara keinginan untuk menjadi bulat dengan keredupan yang menyipitkan ujung-ujungnya. Pokoknya tipe orang idiotlah

Namun yang membuatku melihat secara lain adalah pakaiannya yang selalu bersih dengan pagutan kain sarungnya yang kokoh. Suatu saat ternyata aku mengerti bahwa pagutan kokoh itu karena ia melilitkan sabuk besar di balik lipatan kain sarungnya di bagian perut. Tetapi, untuk apa ia memakai baju-baju bersih itu kalau keadaannya seperti itu. Orang toh, apabila kuperhatikan tiap-tiap ia bersila di mesjid itu, selalu membiarkannya sendirian. Sehingga ia terpaksa selalu mengarahkan pandangannya ke dunianya sendiri, seolah tidak ada gunanya menoleh dan menawarkan pergaulannya ke orang-orang lain. Sepertinya keadaan itu menyiratkan kesadaran yang cukup kuat bahwa untuk mencapai pemahaman terhadap dunia orang lain, baginya adalah semacam penjara dengan lorong-lorongnya yang paling sunyi. Pemahaman, apalagi kesosialan adalah cungkup besi yang mengatak-dalam-tempurungkannya. Ia seorang idiot yang semakin dibuat idiot oleh keengganan orang untuk memberi sedikit kesempatan padanya untuk sekedar mencoba membuka teka-teki keberadaannya. Tanpa kusadari aku mulai berpikir bahwa mungkin hanya dialah orang yang sanggup mendengarkan khutbah-khutbah yang diulang-ulang baca di mesjid ini. Tetapi, ah mengapa aku mesti berpikir sampai ke hal-hal pinggiran semacam ini

Sayang, dalam keyakinanku aku mengatakan bahwa ia tak akan sanggup menjawab apabila kucoba menanyakan padanya: untuk apa atau apa artinya ibadat buatmu? Aku semakin terusik oleh rasa penasaran tentang kemungkinan jawaban yang bakal didapat atas pertanyaan itu. Apalagi ketika dalam otakku muncul kenyataan-kenyataan yang bisa disodorkan sebagai jawaban, apabila pertanyaan itu kuutarakan tidak kepadanya, tetapi pada orang-orang di sekelilingku di jaman ini

Ibadah dalam jaman kita ini bukan lagi soal kesucian dan soal ketuhanan yang abstrak. Ibadah, dengan ritualnya yang macam-macam itu, sudah masuk atau mungkin dirasuki oleh hal-hal yang pada saatnya dahulu dipandang sebagai yang konkrit, tidak suci dan soal-soal kealaman semata-mata. Aku melihat, sebagai contoh, Bali yang diperkosa peribadatannya, baik tempat maupun ritualnya. Aku melihat sorga tari-tarian suci yang dikotori keringat syahwat dan diriuhi gemerincing uang logam dan taburan-taburan uang kertas. Aku melihat bibir-bibir mencibir yang dengan leluasa meremehkan rasa transenden menjadi sekedar tontonan mistis dan magic

Ya, Allah! Ada dosa macam apakah sehingga peradaban menjadi berpihak pada penyusupan hal-hal yang tak suci terhadap yang suci. Pada penyusupan yang thaghuti kepada yang ilahi. Ya, Allah! Mengapa aku ini

Ketika iqamat dibacakan, sementara orang-orang lain mengusap matanya yang mengantuk untuk bersiap-siap berdiri akan melakukan shalat berjamaah, ia, anak idiot itu mendahului berdiri dan dengan senyum tanpa dosanya melihat berputar. Lalu dilambaikan tangannya kepada seluruh hadirin. Teka-teki yang asing pula buatku. Harus bagaimanakah orang menyambut senyum dan lambaian itu? Tersenyum dalam hati, tersenyum biasa, tertawa atau mungkin memarahinya?

Tetapi insiden tersebut berlalu dengan sekejap. Dari kenyataan inipun aku berkesimpulan bahwa benar ia tidak eksis dalam kehidupan ini. Ia hidup dalam dunia yang tak menerimanya. Atau yang mengasingkannya barangkali. Aku semakin penasaran dibuatnya. Ada atau tiadakah ia

Dalam shalatpun aku terbayang kelanjutan keberadaannya. Sementara orang berlomba-lomba mengatasnamakan Tuhan bagi kepentingan-kepentingannya sendiri, apa arti ibadat baginya? Sebuah intermezzo? Sebuah rutinitas dari kesehariannya yang kesepian? Sebuah gejolak psikologis tertentu, atau malah sebuah ungkapan rasa transenden yang begitu tinggi? Ya, Tuhan, ia kacaukan kekhusyu'anku padaMU

Namun lihatlah Tuhan! Keberadaannya, terutama saat ini, memperlihatkan padaku sesuatu…apalah namanya. Dimana kecenderungan yang terjadi menggeletakkan sesuatu yang sakral, kemudian memotong-motong dan membagikannya demi sebuah konspirasi yang jauh, apalagi bila berusaha dipikirkan oleh orang-orang semacam bocah idiot tadi. Pada jamanku kini aku mendengar sesuatu yang disebut ibadat politik, doa politik, ziarah politik, haji politik dan lainnya lagi.

Puncaknya aku mulai bimbang tentang dua pilihan. Kesadaran untuk menujukan ibadah terhadap sesuatu yang nyata dalam kehidupan ini, semacam kepentingan ekonomi, politik dan kedudukan struktural ataukah ibadah itu harus dibuat semacam kemabukan yang ekstasif dalam diri seseorang. Tergambar di mataku satu sisi seorang idiot terpisahkan dari satu sisi yang berisi orang-orang lain

"Assalamualaikum warahmatullah…" terdengar suara imam menutup shalat yang dipimpinnya

"Assalamualaikum warahmatullah…" para ma'mum mengikuti kemudian.

Aku pun mengucap salam penutup shalat jum'at ini. Sebelum orang-orang selesai dengan pembuka wiridnya, bocah idiot yang pada jum'at kali ini berada dua shaf di depanku berdiri. Celingukan sebentar, mencari jalan untuk lewat keluar. Orang-orang yang dilaluinya memiringkan badannya sambil tetap menggumamkan suara-suara.

Tanpa sadar aku cepat-cepat mengikutinya. Sampai di gerbang mesjid aku berdiri membiarkannya berjalan sendirian sampai di sebuah jalan yang merupakan gang besar yang selalu gersang berdebu. Lalu setelah yakin belum banyak orang yang meninggalkan mesjid, dengan tergesa ia kuhampiri.

"Apa artinya ibadah bagimu?" tanyaku dengan getar yang tak mampu kutahan.

Ia hanya memandangku sebentar. Lalu tersenyum.

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.