Mistik Jingga
sore itu, jingga menjadi pertanda baik
tentang perempuan yang memiliki ruang sesejuk gunung
memiliki jurang serahsia palung-palung
ia membawa pelangi
seperti sebuah selendang dengan warna paling gelora
tapi juga selalu pergi secepat kabut yang menghadir dan memupusnya:
“…cakrawala adalah batasku,
untuk tiba, untuk pergi,
dan aku tak sembarang disentuh…”
ia selalu meninggalkan ruang bahwa ia selalu hadir
dalam langit manapun:
“…tapi selalu tujuh aura,
yang bisa tunggal bisa berbeda…”
dan ia selalu menyalakan misykat itu:
kangenmu, mesti dari Sang Cahaya