Beberapa kali dari kamar mandi terdengar suara orang muntah-muntah dan suara air yang di siramkan. Sari, Nita dan Ayu, yang lagi sibuk mengatur pot di sisi taman tengah rumah, saling berpandangan satu sama lain. Dengan polosnya Sari nyeletuk, “Apa mas Deni ngidam, ya?”
“Ngidam? Mana ada laki-laki ngidam? Apa mau niru orang Filipina yang ngakunya ngidam, padahal nipu?” Nita jadi sewot mendengar pertanyaan Sari.
Tiba-tiba Deni keluar dari kamar mandi dengan jalan yang gontai tanpa gairah, mukanya merah tapi pucat dan rambutnya acak-acakan. Ia melewati anak-anak tanpa menoleh sedikitpun pada mereka. Ayu merasa kasihan melihat keadaan Deni seburuk itu, “Den, masuk angin, ya?” tanyanya.
“Apa? Masuk angin? Memangnya aku balon ?” jawab Deni meremehkan perhatian Ayu. Tanpa senyum dan basa-basi, Deni masuk ke kamarnya, lalu dengan sekuat tenaga membanting daun pintu. Anak-anak kembali saling berpandangan.
Sari nyeletuk lagi, “Alhamdulillah. Walaupun sakit, mas Deni tetap lucu!”
“Orang marah kayak gitu dianggap lucu!” Nita dan Ayu terpancing memberi komentar.
Matahari melotot tepat di tengah-tengah langit yang membentang biru cerah. Deni yang tidur sedari pagi, belum bangun juga. Suara ngoroknya terdengar sampai radius satu kilometer lebih, kontan saja Ayu yang habis menjemur sepatunya menjadi tertarik akan suara itu. Ia pun berdiri di depan kamar Deni. “Bagus juga nih ngorok Deni dijadiin bekson?” pikir Ayu dengan girangnya. Lalu bagaikan anak-anak Slank mulailah ia menyanyi, “Nina bobo… ooh… nina bobo…”
Suara ngorok Deni berhenti. Ternyata Deni sudah berdiri melotot di balik kaca nakonya memperhatikan tingkah Ayu, “Heh. Nyanyi apa ngejek!”
Ayu menghentikan kegiatan bernyanyinya, "Orang lagi serius nyanyi, disangkain ngejek!” jawab Ayu dengan mimik bersungguh-sungguh.
“Kalau mau nyanyi, lagunya jangan yang itu, yang lain saja. Biar aku nggak tersinggung!” dengan bersungguh-sungguh pula Deni memberi pengarahan.
Dalam hati Ayu menjadi sedih, “Kok, Deni jadi pemarah seperti ini? Biasanya ni anak seneng banget kalau digojekin. Sekarang…?” Tapi Ayu tidak memperlihatkan kesedihan hatinya. Malah bernyanyi kembali dengan suara yang sekeras-kerasnya, “Maafkanlah aku …”.
Deni membanting pintunya dan berteriak membentak Ayu, “Dasar! Cewek nakal!”
Mendengar dirinya disebut cewek nakal, Ayu merasakan pipinya bagaikan ditampar seribu kali, saking tersinggung dan marahnya, ia pun menangis sambil berlari menuju kamarnya. “Deni kebangetan!” rutuk hatinya.
***
Pada jam sembilan malam lebih sedikit, ketika Bu Suhud, Nita, Reni, Ayu dan Sari berkumpul bercakap-cakap diruang santai di depan pesawat tipi, Pak Suhud tiba di rumah. Sembari bersalaman ia mengetuk pintu dengan perlahan. Anak-anak dengan kompak menjawab, “Wa'alaikumsalaam…”
Bu Suhud berjalan menuju pintu, lalu membuka selot, “Kok, malam lagi pulangnya?”
“Yaa, beginilah kalau lagi sibuk.” Jawab Pak Suhud sambil membuka sepatunya.
“ Sibuk, apa sibuk?” selidiki Bu Suhud.
“Ee, ibu. Mulai ketularan cerita-cerita sinetron, ya? Suami telat pulang, disangka yang bukan-bukan!”
"Humor pak, humor!”
Anak-anak tertawa mendengar Pak Suhud dan Bu Suhud yang saling curiga.
“Nih, oleh-oleh, pisang goreng!” Pak Suhud menyerahkan bungkusan ke tangan Sari. Anak-anak yang lain nyeletuk, “Nggak elit, ya? Nyogok pake pisang goreng!” Semuanya tertawa sambil berebut merogohkan tangan ke bungkusan pisang goreng.
“Jangan manas-manasin ibu, ah! Nanti kebakaran. Ya, ndak bu?” kelakar Pak Suhud.
Setelah berganti pakaian, Pak Suhud kembali ke ruang santai dan duduk di sofa samping Bu Suhud yang lagi sibuk merajut. “Mana Deni sama Ayu?” Tanya Pak Suhud.
“Deni dari sore tadi keluar belum pulang. Kalau Ayu lagi bertapa di kamarnya” jawab Reni.
“Heran! Biasanya mereka paling getol nunggu sinetron.”
“Wah, lebih heran lagi, kalau Bapak tahu tingkah Deni sekarang. Judes, pemarah, banting-banting pintu, nggak bisa di ajak gojek…” timpal Sari.
Nita terpancing untuk menambah deretan keganjilan Deni, “Iya, Pak! Ayu aja jadi diem terus di kamar gara-gara Deni, tuh!”
“Memangnya Ayu diapain Deni?”
“Dikatain cewek nakal, coba! Kan kebangetan, tuh!”
"Ada apa si Deni, ya? Kok, bisa sadis seperti itu? Ini pasti ada apa-apanya? Terus ada hal lain yang aneh?”
“Ada, pak. Tiap pagi Deni pasti sibuk di kamar mandi, muntah-muntah!” dengan perasaan jijik Sari mengucapkan kalimat itu.
“Muntah-muntah? Jangan-jangan…” Pak Suhud tidak melanjutkan kata-katanya. Mendengar kata ‘jangan-jangan’di ucapkan dengan suara perlahan tapi mengerikan oleh Pak Suhud, anak-anak jadi ketakutan. Mereka menggerombol mendekati Pak Suhud.
“Jangan-jangan apa, pak?” rasa penasaran Anak-anak mendesak Pak Suhud.
Pak Suhud malah keluar sifat jeleknya, dengan acuh tak acuh dia membuka korannya sambil bernyanyi lirih menirukan A Rafik, “..jangan-jangan samakan. Dia dengan yang lain…”
Anak-anak jadi keki. Lalu dengan perasaan yang dongkol kembali duduk di karpet tebal. Tanpa melepaskan senyumnya, Bu Suhud berkata, "Bapak, Bapak! Anak-anak lagi serius, malah membayol…”
Jam setengah dua belas malam di rumah Pak Suhud sudah sepi. Anak-anak selepas sinetron, bubar ke kamarnya masing-masing. Mungkin saat itu mereka sedang asyik dengan mimpi-mimpinya.
“Pak, mari tidur! Malam sudah larut!” suara Bu Suhud memecah kesunyian.
“Duluan saja, Bu! Bapak mau menunggu si Deni pulang…” Pak Suhud menolak dengan halus ajakan Bu Suhud, “Bapak ingin tahu apa yang terjadi padanya!”
Bu Suhud melangkahkan kaki menuju kamarnya. Baju tidur yang dipakainya terseret-seret karena kepanjangan. Tapi Bu Suhud tidak memperdulikannya, di benaknya mungkin terlintas pikiran, “Sekalian nyapu, biar besok pagi tidak usah nyapu lagi."
Di ruang santai tinggal Pak Suhud seorang diri. Dengan membawa tanda-tanya besar di hatinya ia pun berjalan perlahan ke luar. Di taman depan ia mondar-mandir sambil suntuk berpikir. “Si Deni pasti sering mabok minggu ini! Tapi kenapa, ya? Kupikir tidak berkurang perhatian yang kuberikan padanya. Apa ada masalah dengan perempuan? Ah, sepertinya tidak. Atau frustasi di kuliah?” beratus tanya sesak memenuhi benak Pak Suhud, tapi masalah yang dirasakannya tepat menyangkut Deni belum diketemukannya juga.
Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor mendekat, dan berhenti di pintu pagar. Orang yang di belakang turun dengan meloncat, lalu katanya, “Thank’s. sampai ketemu!”
Tak lama berselang sepeda motor itu melaju kembali. Pak Suhud dengan berjalan cepat mendekati pintu pagar, kemudian membukanya. “Deni! Om, mau bicara sebentar. Bersedia?” Tanya Pak Suhud dengan suara berwibawa.
“Wah, ngantuk, om!” jawab Deni dengan mata yang diusahakan tidak beradu pandang dengan Pak Suhud. Pak Suhud mencium bau minuman keras dari mulut Deni. “Tepat dugaanku!” pikir Pak Suhud.
“Sebentar saja!” Pak Suhud memohon kesediaan Deni untuk bicara. Deni berjalan sempoyongan menuju teras rumah, di ubin yang dingin menyengat ia duduk menghadap ke luar pagar. Pak Suhud dengan berhati-hati mengikutinya.
"Kenapa sampai begini?” Pak Suhud mengawali perbincangan. Deni tidak menjawab, tatapannya yang kosong seperti ingin menembus langit yang jernih berbintang, ia hanya menarik nafas panjang. Pak Suhud menafsirkan tarikan nafas itu sebagai tanda adanya beban berat yang sedang menindih Deni, dan Deni belum sanggup mengucapkannya dengan kata-kata.
“Dugaan Om mungkin salah, tapi biasanya kalau orang muda bergaul dengan minuman, pasti ia sedang bermasalah.”
Deni tetap diam, dan kembali menarik nafas panjang, lebih panjang dari yang pertama. Pak Suhud masih berusaha sabar melayani Deni yang membisu.
“Jangan terlalu sering menarik nafas! Nanti masuk angin, atau orang lain kehabisan nafas!” Pak Suhud berusaha membuat suasana menjadi santai. Senyum kecut menghias bibir Deni. “Saya kecewa terhadap teman-teman…” dengan tak disangka-sangka keluar juga suara Deni, “Mereka tidak pernah mengakui keyakinan saya. Mereka hanya memberi tempat bagi saya dalam hal-hal yang sebetulnya tidak bernilai besar, menggosip-lah, ngejek dosen-lah, ngomongin cewek. Tapi pas ada kegiatan yang betul-betul berharga bagi wawasan dan pengalaman saya, saya tidak pernah dilibatkan. Bahkan dengan menawarkan diri pun, saya nggak berhasil meyakinkan mereka!” Setelah menjelaskan kegelisahannya itu, Deni menekan kuat giginya, emosinya yang terpendam akhirnya berhasil juga ditumpahkan dengan kata-kata.
“Contohnya bagaimana?” Pak Suhud bertanya untuk dapat mengetahui dengan lebih jelas persoalan keponakannya itu.
“Kemarin, kan ada perlombaan penulisan karya ilmiah per-fakultas, kebetulan temanya menyangkut hal yang saya sukai. Saya menawarkan diri untuk ikut sebagai anggota kelompok fakultas. Ee, teman-teman malah memilih orang lain!”
Sekarang giliran Pak Suhud yang menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya kembali, ia berkata, “Om, jadi ingat pepatah Kong Hu Tzu yang bunyinya begini: janganlah bersedih karena kamu tidak diakui, tetapi tanyakan pada dirimu sendiri apakah kamu patut diakui?”
Darah di tubuh Deni berdesir cepat mendengar kalimat itu. Ia seperti dihadapkan dengan sebuah nostalgia di pikirannya: ia merasa bahwa ada yang salah dalam dirinya, tetapi ia tidak pernah berusaha mengakuinya, keangkuhannya untuk dianggap sebagai Mister Sempurna telah menutup kemungkinannya mengoreksi diri. Sekarang, ia jadi malu mempunyai sikap seperti itu.
“Dan lagi, suatu keyakinan itu selalu memerlukan bukti. Keyakinan tanpa bukti adalah keyakinan yang buta. Oleh karena itu walaupun kamu yakin kamu bisa, tapi selama ini kamu belum membuktikannya dengan nyata, mana bisa temanmu mengakui? Mending memilih orang yang sudah terbukti bisa!” Mulut Pak suhud serasa jadi pistol yang menembak tepat ulu hati Deni, keteguhan Deni dalam keyakinannya yang angkuh menjadi sekarat, lalu mati.
“Nah, sekarang kenapa kamu jadi pemabuk?” Pertanyaan Pak Suhud seolah karet yang dijepretkan ke telinga Deni, telinga Deni jadi merah karena panasnya.
“Itulah pelampiasan rasa kesal saya terhadap perlakuan teman-teman!” Deni menjawab sembari mengangguk-angguk kepalanya.
“Merasa kesal boleh-boleh saja, tetapi kalau mau mencari pelampiasan, carilah yang bermutu, bukannya yang merusak. Mabuk-mabukan itu tidak dapat membuktikan apa-apa, selain menunjukan bahwa dirimu lemah dan kekanak-kanakkan!” telunjuk Pak Suhud hampir menusuk hidung Deni karena semangatnya berfilsafat.
“Sudahlah. Sekarang pergi tidur! Dan jangan lupa minta maaf sama Ayu! Gara-gara kelancangan mulutmu Ayu jadi pertapa, tuh!”
Dengan rasa sesal yang dalam, Deni berjalan masuk menuju kamarnya. Di hatinya bergolak ejekan-ejekan, “Huu, pemuda cengeng! Orang lemah! Pengecut! Si mulut lancang! Sok sempurna! Wee, malu wee!"
Di dalam kamarnya Deni melamun sebentar. Ditimbang-timbangnya kata-kata Pak Suhud tadi, “Betul juga! Buat apa aku merusak diri seperti ini. Datang ke kampus dengan wajah kuyu, berdiam diri dengan muka cemberut, tidak ramah, pembentak, mengeluarkan kata-kata yang gak pantas. Hii, aku ngeri mengingat yang lainnya. Ayu? Duh, kasihan dia dilancangin seperti tadi pagi!” benak Deni mengurai satu persatu kesalahannya. Ia pun berdiri bercermin. Dilihatnya sebuah wajah yang merah pucat dengan rambut kucel dan mata yang menyorotkan keputus-asaan, “Seperti inikah wajah pemabok? Wajah pengecut? Wajah setan?”
Deni jadi bergidik melihat wajahnya sendiri, maka timbullah niat dan kesadaran dalam hatinya, “Mulai besok wajah ini akan kembali cerah-ceria, ganteng, gagah, dan…” Denipun tersenyum sendiri.
***
Setelah berdoa sehabis sholat subuh, Deni berdiri di pintu kamarnya. Niatnya mau mencegat Ayu. Tak lama sejak Deni berdiri di pintunya, Ayu keluar dari kamar mandi dengan menundukkan kepala. Hati Ayu dongkol mengetahui Deni berdiri memperhatikannya, apalagi kemudian Deni berjalan mendekatinya. Jalannya dihalangi Deni. Dengan suara terputus-putus Deni berkata kepada Ayu, "Yu, bisa bicara sebentar?”
“Tidak bisa!” bentak Ayu.
“Sebentar aja!”
“Tidak bisa!"
“Aku mau minta maaf!"
“Apa? Enaknya minta maaf! Silakan!”
"?"