Ilmu Sosial Profetik: Antara Teori Kritis Teologi Pembebasan

(Esei Peri Umar Farouk)

Melalui pemuatan tulisan yang berjudul “Mempertegas Kembali Ilmu Sosial Profetik”, Harian Republika edisi 14 November 1997 seolah ingin memunculkan kembali diskursus mengenai Ilmu Sosial Profetis (ISP) yang hampir tenggelam ini. Memang patut disayangkan apabila gagasan yang digulirkan kembali oleh penggagasnya, yakni DR. Kuntowijoyo, secara berturut-turut pada tanggal 7-9 Agustus 1997 ini dilewatkan tanpa responsi yang memuaskan.

Tulisan ini sebagai urun rembug dalam merespon gagasan tersebut, mencoba menempatkan ISP dalam perspektif keilmuan yang lebih luas. Pertama-tama akan dilihat kerangka historis beserta ethos intelektual ISP yang pada derajat tertentu menyematkan interpretasi atasnya. Kemudian menghadapkan interpretasi tersebut dengan bentuk pengetahuan lain sebagai jalan untuk mengelaborasi potensi praktisnya, sehingga ISP lepas dari sekedar kegairahan yang simbolis belaka.

+++

ISP diperkenalkan oleh DR. Kuntowijoyo pertama-tama dimaksudkan sebagai ‘alternatif’ terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman. Yakni mengenai pentingnya merumuskan teologi baru yang disebutnya sebagai Teologi Transformatif. Perkembangan istilah dari ‘Teologi Transformatif” menjadi “Ilmu Sosial Profetis” sebetulnya melewati dulu apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Ilmu Sosial Transformatif”. Oleh karenanya perkembangan tersebut mengandung dua penggantian yang sangat menentukan nantinya bagi gagasan definitif ISP. Yakni penggantian istilah “teologi” menjadi “ilmu sosial”, serta penggantian istilah “transformatif” menjadi “profetik”.

Pada penggantian istilah “Teologi” menjadi “Ilmu Sosial”, Kuntowijoyo menghendaki adanya penerimaan secara luas pengembangan gagasan Teologi Transformatif. Dipandang olehnya bahwa konsep teologi dalam masyarakat kita masih dipersepsi secara berbeda-beda, yang menyebabkan pembaharuan atasnya relatif belum dapat diterima. Hal ini terutama karena adanya pengartian baginya sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin ketuhanan (tawhid). Pembaharuan teologi bisa berarti mengubah doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Padahal menurut kalangan ini masalah teologis merupakan masalah yang dianggap sudah selesai di dalam Islam. Sedangkan istilah ilmu sosial dianggapnya lebih netral dan terhindar dari pretensi doktrinal, karena kebanyakan dari masyarakat mengakui sifatnya yang nisbi.

Tujuan selanjutnya dari penggantian istilah ini adalah penekanan pencarian ISP yang menurutnya lebih terfokus pada aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Tidak seperti teologi, ruang lingkup ilmu sosial tidak ditekankan pada aspek normatif yang bersifat permanen. Sehingga pada akhirnya, dengan pemakaian istilah ilmu sosial kita akan dengan bebasnya mengutak-atik avonturisme intelektual kita di segala ruang waktu. Karenanya terbuka kemungkinan adanya review, revisi dan rekonstruksi yang boleh hadir kapan saja dan terus menerus.

Dalam penggantian istilah “Transformatif” menjadi “Profetis”, sebetulnya Kuntowijoyo sedang melancarkan kritik atas ide yang diupayakan Pencerahan Barat mengenai ilmu yang mesti bebas nilai. Berlawanan dengan itu ia malah menghendaki bahwa kita harus secara sadar memilih arah, sebab dan subyek dari ilmu sosial yang kita bangun. Sehingga ilmu sosial tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, melainkan juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. ISP dengan demikian tidak hanya menggairahkan transformasi demi perubahan itu sendiri, namun mendasarkan transformasinya atas dasar cita-cita etik dan profetik tertentu.

Sebagai contoh, Kuntowijoyo sendiri menetapkan bahwa bagi masyarakat Islam, transformasi sosial dilaksanakan berdasarkan cita-cita etik dan profetik yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110. Yakni menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah SWT, yang kemudian dibumbuinya dengan istilah bercita rasa Barat, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.

+++

Beranjak dari sifat keilmuan dan transformasinya yang sarat nilai profetis (transenden) seperti disebutkan di atas, penulis ingin menghadapkan gagasan ISP ini dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain yang hampir serupa. Penghadapan ini penting untuk menindaklanjuti pendekatan terhadap proyek ISP, terutama yang menyangkut pertanyaan: bagaimanakah kita menerjemahkan ISP tersebut secara lebih praktis?

Satu hal penting yang perlu dikemukakan untuk memulai menjawab pertanyaan di atas adalah bahwa Kuntowijoyo sendiri merekomendasi perlunya sikap inklusif bagi pencerahan proyek ISP. Karena sikap eksklusif baginya merupakan sikap yang a-historis dan tidak realistis. Semua peradaban, bahkan agama menurutnya mengalami proses meminjam dan memberi satu sama lain dalam interaksinya. Sehingga ISP sendiri dalam elaborasi praktisnya tidak perlu ditutup dari kemungkinan meminjam bentuk pengetahuan atau praxis lain yang telah ada. Namun pertanyaannya kemudian adalah: bentuk pengetahuan mana atau yang bagaimanakah yang akan dipilih?

Dengan menengok kembali ethos yang ingin dikembangkan ISP, maka penulis memandang cocok memilih Teori Kritis Jurgen Habermas untuk memulai memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut. Hal ini karena adanya kesetaraan atau kesamaan bentuk pengetahuan dan emansipasi di antara keduanya. Salah satu pilar penting yang ingin dibangun Jurgen Habermas dalam Teori Kritisnya adalah bahwa bentuk pengetahuan yang diciptakan haruslah bersifat ‘banci’. Di satu sisi bentuk pengetahuan itu berfungsi seperti filsafat, yang mendorong refleksi-diri dan memberi aspek normatif dalam realitas sosial. Namun di lain sisi seperti ilmu pengetahuan, yang memiliki kekakuan metodis untuk mengetahui aspek empiris realitas sosial. Dan karena pengetahuan tersebut kemudian harus diabdikan dalam usaha-usaha emansipatoris, baik dalam struktur pengetahuan maupun struktur sosial, maka bentuk pengetahuan tersebut bukanlah bentuk kontemplatif murni atau netral, melainkan senantiasa terkait dengan praxis.

Namun di antara keduanya pun terdapat perbedaan yang bisa jadi penting berhubungan dengan aspek normatif yang ditetapkan bagi masing-masing pencerahan dan praxisnya. Yakni bahwa Jurgen Habermas tidak secara tegas menetapkan aspek normatifnya berupa nilai-nilai profetis sebagaimana ISP. Walaupun terbuka kemungkinan Teori Kritis meminjam nilai-nilai profetis, namun secara definitif, transendensi bukan merupakan rukun yang wajib ada. Namun hal ini pun tidak perlu menjadi soal bilamana ISP sendiri meminjam Teori Kritis, dengan maksud kemudian mentransendensikannya. Dengan kata lain ISP merupakan bentuk transendental dari Teori Kritis.

ISP dengan demikian terbatas hanya bisa meminjam metode teoritis dan sifat transformasi Teori Kritis. Sedangkan berhubungan dengan nilai-nilai profetis dimana transformasi hendak diterangi, ISP lebih bisa berdialektika dengan bentuk pengetahuan lain. Yakni Teologi Pembebasan dalam sifat heteropraxisnya. Dalam dialektika tersebut, sejauh berhubungan dengan sifat normatif Al-Qur’an, ISP mesti dicita-citakan tidak semata bersifat memantapkan ajaran (orthodoxy) atau hanya menuntut dijalankannya ajaran dalam tindak keseharian (orthopraxis). Melainkan ia bersifat orthodox sejauh bersumber pada orthopraxis (heteropraxis). Di dalam praxis ini ISP dituntut sebagai sebuah rumusan ajaran (iman) sejauh berpangkal dari pengalaman konkrit dan kembali secara baru pada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut.

Untuk mengetes sifat heteropraxisnya ini, kita dapat meminjam metode “Lingkaran Hermeneutika” yang dikembangkan seorang pemikir Teologi Pembebasan, yakni JL Segundo. Di dalam lingkaran hermeneutika ini terdapat dua kesangsian, yakni kesangsian ideologis dan kesangsian eksegetis, yang dihadapkan pada dua obyek pokok, yakni realitas dan interpretasi Kitab Suci.

Dari dua kesangsian dan dua obyek pokok tersebut, kemudian ditetapkan empat langkah Lingkaran Hermeneutika. Di dalam tesisnya yang berjudul Teologi Pembebasan, F Wahono Nitiprawira mengutip empat langkah tersebut. Yakni pertama, cara mengalami realitas yang terumuskan mendorong pada posisi kesangsian ideologis. Kedua, kesangsian ideologis tersebut diterapkan atas superstruktur, yang didalamnya terdapat teologi yang sudah beku. Ketiga, mendapatkan cara baru mengalami realitas teologis yang mendorong pada posisi kesangsian eksegetis, terutama mulai menyangsikan bahwa interpretasi Kitab Suci yang ada tidak mengikutsertakan data yang penting dan relevan. Keempat, mempunyai cara baru yang kaya dan mendalam dalam menginterpretasi Kitab Suci, yang kemudian meneruskannya dengan mengalami kembali realitas secara baru.

Secara hipotetis ISP yang menempatkan diri sebagai elaborasi ilmiah dari transendensi tentu bersifat heteropraxis. Namun sayang kita tidak dapat menguji benar-benar sifat heteropraxisnya kini, karena ISP sendiri belum sampai kepada taraf yang lebih terinci untuk diuji hasil pencerahannya. Oleh karena itu bilamana ISP dianggap sebagai suatu gagasan penting bagi pengkayaan kehidupan kita, upaya pengembangannya mesti menjadi hal yang mendesak. Jangan sampai ia menjadi kepompong sutra yang tidak ada kehidupan di dalamnya.

+++

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.