Hanya Sisa Teh dan Kopi

Di sebuah meja jati kuno kita berhadapan
Dengan duduk di kursi jati beranyamkan rotan
Biasanya sambil bertengkar kata
Tentang lebihnya satu hal dari yang lain

“kopiku lebih baik dari tehmu,” kata pembukamu
Lalu kau rentetkan kebaikan-kebaikan lainmu

“teh selalu lebih baik dari minuman lain,” aku menyela
Lalu kusebutkan seribu satu alasan mengapa teh selalu yang terbaik

Ah, diam-diam ketika yang lain lengah, kita hirup nafas yang lain
Aku hirup wangi kopimu, kau hirup wangi tehku

Tapi hari ini tidak begitu
Kopimu tetap panas mengepul, namun tidak mengingatkanmu tentang narsisme:
Kebaikan-kebaikan lain yang melimpah ruah dari dirimu

Tehku juga seperti itu
Ia seperti diamnya padang rerumputan
Yang terhampar layaknya sajadah satu warna

Akupun menerawang dan tak tahan untuk berbisik:
“sujud kita rasanya terlalu warna warni…”
Kau aku sepakat seperti gumam bersamaan
“padahal khusyu’ adalah fokus:
Keselamatan adalah hijau, kan?”

Kemudian kita akan tertarik kembali berhujjah
Karena berdebat lebih punya gaya gravitasi
Daripada diam

“tidak!” katamu seperti siuman, “aku punya sisi kanan yang hijau,
Tapi aku juga punya sisi kiri yang ungu…
Hidup tak perlu pasrah bungkuk, kan?
Tuhan bekerja dengan kecenderungan-kecenderungan kita
Sisi kiriku terlalu siasia
Untuk tak dipuaskan…”

Lalu kau bicara tentang karakter yang kau sukai:
Cerdas, liar dan lucu

“seperti binatang sirkus,” ejekku, “pitecantrophus komedius!”
Lalu tertawa, merenggangkan kini dari semua masa yang telah lewat

Masa lalu seperti sabuk berduri cilice
Kita senantiasa terpaksa memasangnya dan itu melukai
Bahkan selalu kita ketatkan

ah, darah, merahnya seperti saga
Menggelorakan birahi kita

“kita tak hendak bercintaan di tengah pasar, kan?” rayuku
“binatang liar, namun kita masih ketakutan sopan santun dan norma-norma,
Kapan kita bebas mereguk seperti kau atas kopimu dan aku atas tehku
Satu hirup senggama tak bakal menjadikan kita legenda buruk
Toh, kita bukan adam dan hawa
Aurat kitapun tak pernah terbuka
Hanya kekangenan yang kita bungkam rapi dengan perjumpaan ruang, waktu dan kata-kata yang sepertinya alim bermakna
Lalu perlahan kita kremasi dalam kalbu masing-masing kita
Dan jantung kita berdegup sama, mewiridkan:
..laa taqrubuj jinaa..”

Lalu kita bertobat tentang dosa yang belum kita buat
Tapi juga bersedih: mengapa tak ada kenekadan
Sehingga dosa kita sempurna sehingga pengampunan kita pun nasuha

Dan senantiasa tiba-tiba kau pamit
“aku harus pulang,” sisi kananmu telah meminta penyucian
Agar hijau cemerlang

Dan senantiasa aku tak berusaha menahanmu
“pulanglah…” sembari berdoa bahwa jangan sekali-kali kau berangus warna ungu di sisi kirimu, “kau mesti…”

Dan senantiasa kita tak menamatkan setiap pisah dengan kesimpulan
Detik-detik kita terlalu berharga untuk diringkas
Logika tak perlu membumbui kebahagiaan kita yang khas

Wangi tehku dan kopimu sejak tadi bercampuran
-seperti nasib yang tak satu
“kenapa takdir selalu menghantui kita akan keterbatasan…
Seharusnya cinta, kan?”
Sehingga kita bisa berbagi tentang yang mungkin
Di ruang yang mungkin dan waktu yang mungkin

Lalu kita tergetar oleh kasih yang sama
Dengan ketakutan yang hampir serupa: musuh nyata kita adalah bosan

Di cangkir kopimu dan di poci tehku nasib sedang bekerja
Merajut entah: ada dua gambar yang tak bisa kita eja
Atau nasib memang selamanya pengecut
Tak pernah jujur menampakkan seluruh wajah

ah, kita harus percaya saja
Itu hanya sisa teh dan kopi…

Jakarta, 22 Oktober 2006
PUF

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.