Epitaf

"Apakah aku harus menuliskan sesuatu untuk mengatakan sebab-sebab mengapa aku melakukan ini?" dalam duduk di pinggir dipan reot, batinku bertanya-tanya. "Ah, kurasa tak perlu! Seluruh pengalaman dalam hidupku sampai keputusanku melakukan ini telah menggambarkan dengan sempurna kegagalanku. Apalagi yang mesti kutulis?"

***

Di malam itu udara dingin menyiksa dadaku. Beberapa kali aku terbatuk dan meludahkan dahak dari tenggorokan. Kugenjot becak sekuat-kuatnya, dengan harapan dapat cepat sampai ke tempat Retno berdinas, tapi udara dingin rasanya telah menghisap seluruh kekuatan ototku dan rasa kantuk yang sangat membuat mataku dipenuhi kabut. Becakku hanya bergerak dengan perlahan.

Setelah menghabiskan waktu yang lebih dari biasanya, sampai juga becakku di kedai minum yang merangkap tempat praktek mesum itu. Retno tidak tampak di kursi bambu luar di mana ia biasa menungguku pada jam-jam seperti itu.

Aku turun dari becak.

"Man, mana Retno?" tanyaku kepada Sarman, centeng kedai minum itu.

"Di kamar! Masih ada tamu!" jawabnya sambil mengunyah kacang goreng. Aku duduk di kursi dalam. Mak Sumi, pemilik kedai yang sedang duduk memperhatikan pembantu-pembantunya melayani pembeli menoleh ke arahku.

"Minum, No?" tawarnya kemudian. Aku menggelengkan kepala, terus menarik nafas panjang mencoba mengakrabi suasana hatiku yang sedang kesal.

Pengunjung kedai itu tinggal beberapa orang saja. Mereka sibuk berbincang-bincang dan tertawa-tawa sambil minum bir dan makan kacang goreng. Semua obrolan mereka hanya sayup terdengar. Aku tidak peduli untuk mengupingnya dengan baik-baik.

"Ah, sesungguhnya mereka tidak benar-benar berbicara kepada orang lain. Mereka hanya ingin menumpahkan kata-kata saja, karena kekesalan, kejenuhan, kesepian dan perasaan-perasaan semacamnya yang melanda mereka." benakku memperteguh diriku untuk berdiam seorang diri saja.

Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan dari bagian dalam kedai yang merupakan kamar-kamar tempat mesum itu. Tawa perempuannya kukenal, Retno.

Kudengar langkah-langkah kaki, lalu dari balik gorden yang menutup bagian dalam dengan bagian luar kedai, muncul dua sosok manusia, laki-laki dan perempuan. Aku terkejut melihat siapa laki-laki itu. Darahku berdesir cepat memenuhi bagian kepala. Belum sempat kuredakan kegalauan itu, laki-laki yang ternyata Gimin, teman baruku bersenda di pangkalan, menyapaku dengan senyuman.

"Marno! Haa, ketahuan! Sering ke sini, ya?"

Aku tidak kuasa menjawabnya. Lidahku kelu. Rasanya ada batu besar yang mengganjal di tenggorokan. Aku hanya membalas sapaan Gimin dengan senyum yang dipaksakan.

Retno berdiri mematung melihat keherananku. Ia mungkin tidak menyangka kalau aku sudah datang menunggunya.

"Mau make Atun?" tanya Gimin kemudian, sambil menunjuk ke arah Retno, "Awas, lho bisa ketagihan!"

Aku tetap diam. Dengan manjanya Gimin mencubit hidung Retno di depanku. Lalu ia pamit.

"Tun, abang pulang dulu, ya! Kapan-kapan abang mampir lagi!"

Ia berjalan perlahan. Pundakku ditepuknya, "Heh, No! Langsung aja! Kok, malah bengong!"

Ingin rasanya kutarik lengan Gimin dan membantingnya jauh-jauh. Tetapi saat itu aku betul-betul tak punya tenaga.

Retno berjalan menuju Mak Sumi. Mereka bercakap sebentar. Aku hanya diam menonton sampai Retno kembali ke arahku dan mengajakku pulang, "Yok, Mas!"

***

Di perjalanan pulang aku bertengkar dengan Retno. Aku tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi di kedai tadi. "Istriku melayani temanku?" batinku menggemakan kalimat itu terus menerus.

"Kau sudah kelewatan, Retno!" bentakku, "Kau layani juga temanku, Gimin!"

"Aku tidak tahu laki-laki itu temanmu!" Retno balas membentak, "Apa aku harus bertanya kepada setiap lelaki yang datang, apakah dia itu temanmu?"

Pembelaan diri Retno masuk akal. Namun setepat apapun alasannya tidak mampu merubah perasaanku mengalami kenyataan perih dan memalukan itu. "Istriku melayani temanku,"

Kurasakan seluruh daging di tubuhku mengelupas. Aku bukan lagi makhluk hidup. Aku bukan lagi manusia. Aku sudah jadi bangkai busuk. Tak berharga samasekali.

"Apa ada manusia sepertiku? Di depan teman pun aku sudah tidak punya martabat. Musnah," pikiranku menggugat.

"Kenapa tidak sekalian saja ke tempat mangkalku. Di sana temanku ada semua. Lalu kau jajakan dirimu di sana!" aku tetap bertahan dengan kemarahanku.

"Sudah kukatakan, aku tidak tahu laki-laki itu temanmu!" Retno mulai menangis. Aku tidak tahu untuk apa ia menangis. Untuk menyesali dirinya atau menentramkan hatiku. Biasanya ketika aku dan Retno betrtengkar, kemudian Retno menangis menyesali dirinya, aku menjadi tentram oleh tangisan itu. Tetapi sekarang. Aku tidak bisa menentramkan hatiku, walau tangisan Retno dengan lirihnya menusuk-nusuk gendang telingaku.

"Sudahlah, tak perlu menangis! Aku tidak marah kepadamu. Aku marah kepada diriku sendiri," aku mencoba menghibur.

***

Sampai dirumah Retno masih terisak-isak menangis. Ia langsung turun dan masuk ke dalam. Aku memarkirkan becak ke pinggir rumah. Kemudian dengan handuk kecil kuusap keringat di muka. Sebetulnya ingin juga kuusap seluruh kekesalan yang tampak mengerutkan wajahku. Namun sia-sia, kekesalan itu terasa kekal.

Kupandang bulan yang bersinar pucat keemasan. Tiba-tiba entah dari mana membisik suara ke telingaku, "Kau seperti bulan pucat itu. Membisu, tua dan kesepian," Terkejut mendapat bisikan itu, dengan tergesa aku masuk ke dalam rumah.

"Ha-ha-ha, kau takut bulan pucat itu menterjemahkanmu selengkap-lengkapnya. Meterjemahkan penderitaanmu selengkap-lengkapnya," kembali suara itu meneriakkan ejekan-ejekan ke dua telingaku bergantian. Aku blingsatan. Kalap. Tanpa berpikir panjang, lari ke dapur mengambil seember air. Kucelupkan kepalaku di sana.

***

Setelah panas di kepalaku menyejuk, aku bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menuju kamar. Di atas kasur yang lembab-apak kulihat Retno tidur telentang. Seperti seekor ikan asin yang terbujur pasrah di atas tampah. Aku duduk di kursi memperhatikannya. Kususuri seluruh bagian tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut di ubun-ubun.

"Bidadari yang malang, bidadari terbuang,"

Pikiranku melayang jauh ke hari-hari yang telah berlalu. Ke hari-hari yang buruk.

***

Retno adalah kembang desa di mana aku tinggal menghabiskan masa kanak-kanak dan remajaku. Sejak duduk di sekolah menengah pertama ia telah menjadi pusat perhatian. Bagiku sendiri waktu itu, ia menjadi lambang keberhasilan di masa depan. Kalau orang mendapatkan Retno, berbahagialah ia. Paling kayalah ia. Laki-laki beruntung. Paling segalanya.

Tetapi sayang. Impian remajaku kandas ketika selesai SMP aku terpaksa meninggalkan desa menuju kota yang asing. Aku harus bekerja membantu menghidupi keluarga bapakku yang waktu itu ditimpa kebangkrutan.

Sebetulnya dulu bapakku seorang pengusaha batik yang cukup maju. Sayang, keberhasilan menjebaknya menjadi seorang penjudi, pemabuk dan tukang main perempuan. Oleh tingkah yang bermanja-manja dengan dunia itulah lambat-laun keluarga kami dihantarkannya menuju kiamat.

Terakhir, habislah segalanya ketika bapak terlibat hutang di sana-sini dan perusahaan batik yang sudah kacau-balau pengelolaannya itu disita. Yang tertinggal dalam diriku hanyalah kemauan untuk tidak berputus-asa. Bapak sendiri dulunya adalah pemuda miskin, yang maju karena sikap berpetualangnya yang selalu menggebu-gebu. Aku dengan tekad buta seorang yang belum dewasa berpikir, teriming-imingi oleh cerita petualangan bapakku, walaupun pada akhirnya petualangannya mencampakkannya kembali dalam kemelaratan.

Aku sudah mempunyai tekad dan keyakinan kuat yang kuanggap benar dan mudah waktu itu. Bertualang dan bertualang, tetapi tidak untuk berlebihan, sehingga kembali ke nol. Aku harus berhenti pada titik tertentu. Titik di mana aku kaya.

Tetapi seperti kenyataannya, inilah yang terjadi. Dari mulai aku mewujudkan tekad itu, aku hanyalah seorang yang kecil sepanjang hidup. Tidak ada hal-hal dan pekerjaan-pekerjaan besar yang mampu menghantarkan aku ke dunia yang kuimpikan, ke titik yang kuidamkan. Aku hanyalah kuli bangunan, satpam bioskop, pelayan restorasi, tukang parkir, tukang becak dan terus berputar sekitar itu. Bahkan pernah juga menjadi gelandangan.

Tetapi ada satu hal yang menghiburku sepanjang hidup ini. Retno, pujaan masa remajaku, dengan tak disangka-sangka menjadi istriku juga, walaupun kenyataan yang mempertemukan kami bukanlah sesuatu yang romantis seperti dibayangkan dulu. Keromantisan sudah tidak menjadi ukuran bagiku. Aku hanya menginginkan api kenangan remajaku menyala kembali. Itu saja. Dan Retnolah satu-satunya yang mampu memantik api itu dihatiku.

***

Aku bertemu kembali dengan Retno ketika ia telah menjadi pelacur. Sungguh mengharukan juga kisah bagaimana ia bisa sampai terjun ke pelacuran. Ia dipaksa kawin dengan bandot tua sewaktu masih kelas dua SMA. Perkawinan itu tidak membawa apa-apa kecuali kesengsaraan yang sangat baginya. Ia membalas perkawinan sial itu dengan berbuat serong, menjalin hubungan dengan kuli bandot tua itu. Aku pikir tepat juga ia melakukan itu, bandot tua sudah semestinya diperlakukan begitu.

Retno diusir. Dan mungkin karena ingin membalas dendam kepada orang-tuanya, yang telah membuat hidupnya laksana neraka, nekadlah Retno. Ia menjadi pelacur.

Sebetulnya dengan kenekadannya itu ia ingin membuktikan kepada orang-tuanya, bahwa ia seorang anak yang patuh. Seorang anak yang dititipkan di neraka dan berusaha betah dalam neraka. Tidak ada bedanya bagi Retno menjadi salah satu istri bandot tua atau menjadi seorang pelacur. Keduanya adalah neraka.

Secara berkelakar ia pernah mengatakan, "Itulah satu-satunya kepatuhan yang mampu kutunaikan bagi orang-tuaku!"

***

Setahun kami menikah, Retno tidak lagi melacur. Waktu itu dengan bersemangat aku mengerjakan apa saja untuk mencukupi kebutuhan. Namun setelah lewat satu tahun, aku sering sakit-sakitan. Menurut pemeriksaan dokter, aku terserang tuberkulosa. Dalam seminggu akhirnya aku hanya bisa bekerja menarik becak beberapa kali saja. Sedangkan kebutuhan yang terus mendesak, menyesakkan hidup kami.

Maka dengan proses yang cukup panjang, setelah kenyataan penyakitku yang tetap tidak membaik, Retno kembali menjadi pelacur. Istriku pelacur.

Tukang becak yang sakit-sakitan dan seorang pelacur. Suatu perpaduan yang sempurna untuk menggambarkan kebrengsekan dan kesengsaraan hidup. Dan itulah kami, aku dan Retno. Nasib memang bukan hal yang bisa dipilih oleh orang-orang seperti kami. Kamilah yang dipilih oleh nasib, bahkan dengan semena-mena.

Sejak itu aku sering berpikir, "Bagaimanakah Tuhan bisa membuat kami menjadi orang-orang terkutuk seperti ini?"

Kami pun bersepakat untuk tidak mempunyai anak. Anak tidak pantas dititipkan kepada orang-orang terkutuk. Dengan keyakinan itu kami cukup merasa berbahagia. Kami tidak menambah deretan orang-orang brengsek di dunia.

***

Tiba-tiba muncul wajah Gimin. Membayang jelas di mata. Bernyanyi-nyanyi, kemudian menatapku dengan rasa iba yang mengejek. Di belakangnya bergerombol orang-orang mengumpatku tak habis-habisnya. Gimin bernyanyi kembali. orang-orang yang bergerombol mengikutinya. Lalu berhenti dan menatapku, terus mengumpat-umpat.

Aku tak tahan. Kugeleng-gelengkan kepala agar bayangan itu kabur. Rambutku yang basah membuat Retno terbangun karena terciprat. Ia menatapku dengan perasaan yang tak dapat diterka.

"Tidurlah, Mas! Nanti sakitmu kambuh lagi, "

***

Benar juga. Pagi-pagi aku terbangun oleh rasa sesak yang sangat di dada. Batuk-batuk tebeseku kembali keluar, seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh darah di paru-paruku.

Retno mengompres keningku dan memijat pergelangan tanganku. "Nanti siang ke puskesmas ya, Mas!"

Aku menjawabnya dengan suara batuk. Rasa mual membuatku masam berkata-kata.

"Minggu ini Mas istirahat saja, tidak usah narik!"

Mungkin Retno tidak tahu, istirahat adalah siksaan bagi seorang laki-laki, apabila kata itu keluar dari mulut istrinya. Aku pun merasa dicambuk dengan kata-katanya itu. "Lelaki lemah, tak berdaya!"

***

"Apakah aku harus menuliskan sesuatu untuk mengatakan sebab-sebab mengapa aku melakukan ini?" dalam duduk di pinggir dipan reot, batinku bertanya-tanya. "Ah, rasanya tak perlu! Seluruh pengalaman dalam hidupku sampai keputusanku melakukan ini telah menggambarkan dengan sempurna kegagalanku. Apalagi yang mesti kutulis?"

Kuangkat kursi dan kuletakkan tepat di bawah tali yang telah kugantungkan. Lalu kembali aku duduk di pinggir dipan. Kutatap lekat-lekat tali yang telah menggantung itu. Lewat udara yang berhembus menggerakkannya kudengar bisikannya menggodaku. "Satu kali dalam hidup, manusia harus merasakan bagaimana mempunyai keinginan dan mampu memenuhinya. Sekarang keinginanmu adalah mati. Ayolah, aku ingin membantumu memenuhinya!"

Angin dingin di malam itu menembus bilik bambu di mana aku berkutat dengan pikiran kalutku. Suara cengkerik mengalun patah-patah. Sesekali terdengar teriakan tukang nasi goreng dan bakmi menawarkan dagangannya di luar.

Tiba-tiba suara nyamuk yang berkelebat menyadarkan kediamanku. Aku pun naik ke atas kursi. Kupasangkan tali ke leherku. Lalu berbisik perlahan kepada malam yang semakin sunyi mencekam. "Maafkan aku, Retno! Ternyata ketabahanku berbatas kejadian kemarin malam. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Gimin akan tahu kau istriku, dan itulah penderitaan yang tak mungkin dapat kutanggung. Penghinaan yang tak menyisakan sedikitpun martabat. Oh, istriku! Kau melayani temanku,"

Aneh. Tidak setetes pun air mata mengiringi kepedihan ini. Seluruh tubuh dan jiwaku telah kering. Aku pun dihinggapi kesangsian, "Benarkah kepedihan dan penderitaan selalu memerlukan air mata?"

Aku bisa menangis tanpa mengeluarkan setetes pun air mata. Tangisan yang gersang. Kemarau.

Kusingkirkan kursi dari kaki. Leherku sesak oleh jeratan tali yang makin lama makin mengetat. Ajal berlari mendekatiku. Aku menjemputnya. Memeluknya dengan erat. Tetapi betapa dinginnya. Betapa gelap dan sunyi.

Sebelum segalanya hilang, kudengar sebuah bisikan. "Inikah kematianmu yang indah? Dimana saat, tempat dan cara engkau sendiri yang memilihnya."

Euaahhhhh…

~Peri Umar Farouk, Ciamis

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.