Boneka

"Kalajengking!"
"Udang!"
"Kalajengkiiing!"
"Udaaang!"
"Kalajengkiii…!"
"Udaaa…!"

Sampai habis nafas kedua anak itu menjeritkan keyakinannya. Tak ada yang mau mengalah. Masing-masing tetap kukuh pada pendiriannya, bahwa boneka yang dipegang oleh Gugun, satu dari dua anak yang berselisih itu adalah binatang yang beda dengan yang disebutkan oleh Apun, seorang lainnya. Gugun mengatakan boneka itu kalajengking. Apun bersikeras boneka itu udang.

"Coba lihat yang betul. Ini kalajengking! Soalnya kalau udang tubuhnya melingkar,"

"Ti-dak!"

"Coba lihat yang betul! Kalau udang mulutnya ada belalai,"

"Yang berbelalai itu gajah!"

"Bukan belalai seperti gajah. Tetapi…"

"Yee, mana ada belalai di binatang selain gajah?!"

Gugun tampak bingung. Kelihatannya tidak menemukan alasan lain untuk mempertahankan lontaran pernyataannya tentang belalai. Apun tersenyum puas, merasa berhasil memotong salah satu dalil yang diungkapkan Gugun.

Segera wajah Gugun bersinar lagi. Mungkin ada alasan lain yang menyegarkan pikirannya. "Coba lihat yang betul, Pun. Ini kalajengking! Soalnya kalau udang ekornya seperti kipas."

"Lho, kalau kalajengking kan ada sengatnya? Ini mana sengatnya? Sembunyi?"

"Namanya juga boneka! Tidak perlu persis betul dengan aslinya,"

"Nhaa, kalau begitu pasti udang!"

"Kalau udang badannya bulat, ekornya seperti kipas."

"Namanya juga boneka, tidak perlu persis dengan aslinya."

"Tetapi kalau udang benar-benar tidak mirip!"

Sudah dua jam sejak pagi tadi kedua anak itu berselisih. Walaupun belum sampai berbaku hantam, tetapi terlihat keduanya ada dalam emosi yang panas memuncak. Salah seorang kurang bisa menahan pasti akan terjadi saling pukul dan cakar-cakaran. Untung mereka masih bisa bersikap beradab. Pertengkaran yang beradab kan yang hanya sampai di ujung mulut, tidak sampai ke tangan atau kaki.

"Kalajengking!"
"Udang!"
"Kalajengkiiing!"
"Udaaang!"
"Kalajengkiii…"
"Udaaa…"

Selagi keduanya asyik melepaskan jeritan, terdengar langkah kaki bergerak tergesa-gesa. Ternyata Mamanya Gugun. Pintu ruang tengah, dimana Gugun dan Apun menjerit-jerit sampai menggeleng-gelengkan kepala itu terbuka.

"Heh, heh. Lagi apa sih kalian? Dari tadi ribut terus. Ayo sana main di luar!" Kedua anak serentak menutup mulut. Keduanya menunduk di bawah mata besar yang melotot. "Gugun, main di luar ya!"

"Ma, ini boneka apa Ma?" Gugun tiba-tiba bertanya sembari menunjukkan boneka yang dipegangnya.

"Boneka kain!" jawab mamanya singkat.

"Tapi binatang apa?"

"Sudah, sudah! Mama lagi ada tamu tuh di depan. Juga mau jadi apa nanti anak lelaki main boneka?! Sana main di luar!"

Apun gemetaran. Bukan lantaran takut dimarahi mamanya Gugun. Tapi takut kalau-kalau mamanya Gugun salah ucap menjawab pertanyaan Gugun tadi. Siapa tahu penglihatan mamanya Gugun dengan Gugun sama kacaunya, pikir Apun. Boneka itu tetap udang di hatinya. Setitik pun tidak ada keraguan. Bu Dedes, mamanya Gugun sudah tak tampak dihadapan kedua anak itu. Pintu menuju ruang tamu telah tertutup rapat.

"Kalajengkiii…" sambil berlari ke luar lewat pintu belakang Gugun berteriak.

"Udaaa…" Apun menyambut tidak kalah kerasnya. Satu keliling mereka mengitari rumah. Gugun mengacung-acungkan boneka. Apun meninju-ninju udara. Keduanya berhenti di muka pintu pagar.

"Gun. Kita tanya orang yuk!"

"Hayo!"
"Pasti jawabnya udang."

"Tidak bisa! Kalajengking!"

"Woo, kamu itu rabun!"

"Kamu buta!"

Kemudian diam. Mereka berdua menuju pos ronda tidak jauh di ujung gang. Gugun memegang bagian ekor boneka, terus mengayun-ayunkannya. Dalam hatinya bergejolak satu permintaan. "Coba kalau yang membuat boneka ini tidak lupa menjahitkan sengat di ujung ekornya, pasti Apun tidak bersikukuh dengan salah pandangnya." Apun menyedekapkan tangan. Terasa dingin badannya di siang yang lumayan panas itu. Kepalanya digeleng-geleng kecil. Persis orang-orangan tanah liat yang lehernya dipasang per spiral. Dari mulutnya keluar bunyi panjang "Wheueueu…". Dalam hatinya muncul doa. "Ya, Tuhan. Berilah orang-orang petunjuk. Agar tidak keliru mana udang mana bukan."

Pos ronda ukuran tiga kali tiga meter itu lembab apak. Kayunya keropos. Gentingnya yang bocor-bocor menelusupkan sinar yang lurus menembus bagai pipa pralon. Tikar tergulung lusuh di sudut. Ada macam-macam kartu berserakan, remi, cekih, gaple. Pantas maling lolos terus. Para peronda khusuknya main kartu, bukan berkeliling jaga keamanan. Gugun dan Apun duduk. Memilih tempat yang berhadap-hadapan. Masing-masing pada sudut yang berlawanan. Memberi tanda sikap yang juga berlawanan, pandangan yang berbeda dan keyakinan yang berlainan.

Keduanya saling melempar senyum. Membangun kepercayaan diri masing-masing dengan mengkabarkan sikap tenang dan tanpa was-was. Di benak mereka seolah terpahat keteguhan jiwa, sebagai prasasti kejayaan kebenaran yang mampu mereka baca. Tetapi selayaknya manusia, lain di bibir lain di hati, lain di hidung lain di jantung, lain di mata lain di dada.

"Pun, mengaku saja. Ini kalajengking! Daripada nanti tambah malu diketahui orang,"

“Ziii, kamu yang bakal malu!"

"King-king klajengking, king-king-king kalajengking…" Gugun bernyanyi-nyanyi kecil mengejek. Apun tidak rela dihinakan seperti itu. Ia pun menembangkan tekadnya dengan meniru nada lagu Halo-Halo Bandung. "Halo-halo udang, udang udang udang udang…"

Semut-semut yang sedari tadi sibuk berlalu lalang membawa dan menggotong remah-remah makanan sejenak beristirahat. Memasang antenenya baik-baik dan mendengarkan hiburan kecil dari dua mulut yang mungil. Semut-semut yang bagai gerombol makhluk berkabung karena semuanya berwarna hitam itu tidak tahu menahu tentang dua hati kecil yang belum terdamaikan. Yang sampai kepada mereka adalah keriangan. Tidak seperti manusia-manusia tua yang sering bersila di pos ronda itu, mumet bermain kartu kawan-kawan semut lainnya yang jadi sasaran. Ada yang dibikin gepeng, remuk, hancur terpotong-potong ditepuk kuat tangan-tangan yang kasar. Menurut insting semut-semut itu dua penyanyi bocah ini adalah makhluk-makhluk yang besar rasa kasihnya. Tetapi…Plok! Manusia sama saja. Tangan kanan Gugun menggencet rombongan semut yang kumpul di samping kiri pundaknya. Semut yang lain shock, lari berpencar kemana-mana.

"Ssst! Gun, diam Gun! Mang Kemen lewat. Tanya sama dia, yuk!" Apun loncat dari duduk dan langsung berdiri di muka jalan. Gugun menghentikan cerocoh mulutnya. "Cihuuy! Pasti kalajengking!" tutupnya.

"Ssst! Jangan dulu dibilang ini apa. Biar saja dia yang berpikir. Tidak perlu disuruh memilih," Apun memotong semangat kawannya.

"Mang Kemen, Mang Kemen!" Gugun memanggil dengan berapi-api. "Kami mau minta tolong. Ini boneka apa, Mang Kemen?" Gugun menyerahkan boneka ke tangan Mang Kemen. Mang Kemen pemain Calung terlucu di kampung itu mengangguk-angguk sambil tertawa ringan. "Kalau nggak salah," Mang Kemen berhenti untuk menarik nafas panjang. Nafas anak-anak seperti ikut tersedot. Mereka merasa sesak menunggu kelanjutan kalimat Mang Kemen. "Kalau tidak salah, ini kawinan lele dumbo sama kue molen. Iyaa, lele dumbo sama molen,"

"Lho, kok begitu!"

"Lho kok begitu bagaimana? Perhatikanlah! Perancang boneka ini pasti memiliki rasa humor yang tinggi. Kepala lele, ekornya kue molen." sambil menyodorkan boneka Mang Kemen beranjak meninggalkan kedua anak yang tengah jengkel dijawab sekehendak hati. Mang Kemen melangkah berlenggang menyiulkan irama Waltz. Gugun dan Apun terkesiap. Lalu keduanya tertawa lepas menyadari keseriusan yang mungkin tidak tepat disampaikan kepada orang semacam Mang Kemen.

Tidak berapa lama setelah Mang Kemen menghilang di belokan jalan, dari arah timur muncul Pak Lurah ditemani seorang hansip. Dua lakon kecil kita berusaha menenangkan diri. Melupakan segala tetek bengek, dan mengulangi memusatkan pikiran hanya kepada kebenaran tentang boneka seperti saat-saat tadi.

"Selamat siang anak-anak!" tanpa merubah raut berwibawa di wajahnya Pak Lurah menyapa. Sejenak mengalihkan pandangan meneliti keadaan pos ronda. Tikar yang berbintik-bintik putih jamuran, kayu yang keropos, sinar matahari yang menerobos masuk dan tebaran macam-macam kartu merajut otaknya menjadi benang-benang kusut, dan kusut sekali. Tetapi bukan Pak Lurah kalau tidak dapat mencegah kesemrawutan jadi beban pikiran yang ditanggungnya sendiri. Mata Pak Lurah kembali memantik api ketentraman. Sikap lemah lembutnya terhadap anak-anak muncul tergambar dalam usapan kedua tangannya di ubun-ubun Apun dan Gugun.

"Pak Lurah. Boleh tidak kami bertanya?" Apun memberanikan diri. Ia merebut boneka dari tangan Gugun dan memperlihatkan kepada Pak Lurah yang sedang tersenyum kepada Pak Hansip yang sejak tadi diam cengengesan. "Ini boneka apa, Pak Lurah?" tidak sabar menunggu jawaban Apun melanjutkan.

"Sebentar dulu, sebentar dulu. Sebenarnya sedang ada apa diantara kalian, heh? Pertanyaan tentang boneka ini kita tunda dulu ya?! Bapak ingin tahu. Apa yang terjadi diantara kalian? Biar jelas! Nanti Bapak bisa memberi jawaban yang paling tepat kalau semuanya dari awal hingga detilnya jelas," Sebagai pemimpin harus punya mata batin seorang pemimpin, hati Pak Lurah berikrar secara rahasia. Jangan sembarang berkata, jangan sembarang menjawab, jangan sembarang melangkah dan bertindak-tanduk. Dalam dua emosi kecil ini pasti sedang terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Sedang bergolak nafsu yang mungkin bisa memecah belah. Jadi harus hati-hati! Bola mata Pak Lurah meminjam sinar hijau Ratu Keadilan.

"Saya yakin ini boneka kalajengking. Tapi si Apun bilang ini udang,"

"Betul kan udang, Pak?" potong Apun.

"Sebentar, sebentar. Coba Bapak lihat bonekanya!" Pak Lurah mulai menimbang-nimbang. Diperhatikannya boneka itu dari dekat, agak jauh, depan, belakang, samping, terus manggut-manggut kepada Pak Hansip. Pak Hansip ikut manggut-manggut. "Menurut Mang Aming ini boneka apa?"

Ditanya mendadak, Pak Hansip gelagapan. Tak disangka tak diduga Pak Lurah meminta pendapatnya. Sebagai wong-cilik yang tidak pernah diberi peluang mengembangkan hak bicaranya ia sama sekali tidak siap. "Eu…me…menurut Pak Lurah baiknya apa?" yang keluar dari mulutnya malah satu kalimat tanya. Pak Lurah merasa bersyukur didampingi penjaga rakyat yang tidak keminter. Begitulah hansip seharusnya. Tidak asal mengucap. Tetap menomorsatukan kebijaksanaan pemimpin daripada melampiaskan kepuasan asal berbunyi. Kini semua menanti jawaban Pak Lurah.

"Begini saja ya nak, ya! Coba kalian musyawarahkan diantara kalian. Segala sesuatu akan menjadi mudah dengan bermusyawarah terlebih dahulu. Salinglah memberi keterangan yang benar, yang jelas, alasan yang baik dan cara yang melanggengkan kebersamaan. Nha, nanti apabila itu tidak membuahkan hasil yang baik, baru datang kembali ke Bapak. Insya Alloh, Bapak akan membantu menyelesaikan sampai tuntas." panjang lebar Pak Lurah menceramahi. Sayang benak kedua anak itu tidak sepenjilat Pak Hansip. Bingung ya bingung, tidak pura-pura mengerti dan seolah-olah beres.

"Mang Aming, kita lanjutkan ke balai desa!" Merasa telah membuka jalan terang bagi persoalan yang menghimpit rakyatnya Pak Lurah dengan kepercayaan diri penuh melangkah kembali menuju barat. Meninggalkan dua anak yang tidak bisa mengambil apa-apa dari ba-bi-bu pemimpinnya.

"Pun, mengaku sajalah ini kalajengking. Nanti kukasih permen dan roti sus!" Gugun menawarkan kesukaan Apun.

"Mau nyuap ni yee! Nyogok! Hiii!" Apun menunjuk muka Gugun. Meremehkan usaha Gugun dengan sikap badan menggigil ketakutan. "Hiii, ketahuan! Malu atuh!"

"Aku kasihan saja sama kamu!"

"Kenapa kasihan? Aku yang kasihan. Udang dibilang kalajengking!"

Tiba-tiba muncul Ci Onde, pemilik toko jajanan. Melihat ke arah Apun dan Gugun dengan menggerakkan bola hitam mata- nya lewat kacamata tebal yang nangkring di hidung.

"Hayya', lagi apa kaliang. Pantas tidak jajang hali ini, hah,"

"Ci, ini boneka apa Ci?"

"Kalajengking kan?!"

"Udang ya, Ci?!"

"Hayya', itu udang buntutnya, kalajengking palanya. Jadi kalajengking-udang atau udang-kalajengking!" Ci Onde berusaha menengahi. Jauh di lubuk hatinya terselip sebuah strategi dagang. "Kalau owe jawab udang si Gugung nggak bakal jajang lagi sama owe. Kalau owe jawab kepiting si Apung nggak bakal jajang lagi. Padahal dua anak itu tebal-tebal uang jajangnya,"

***

Di rumah Gugun, Srini, kakaknya sibuk mencari-cari sesuatu. Di kamarnya segala telah diungkap-ungkap, dibolak-balik, didikte satu-satu. Buku-buku berserakan. Kasur tanpa seprei tergulung tak karuan. Boneka-boneka terguling, ada yang sujud, ada yang tengkurap.

"Bi Inaaah! Boneka baru Srini mana?!"

"Boneka baru yang mana?"

"Boneka anak nyamuk!"

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.