Belatung

Kini aku sedang memperhatikan seekor belatung. Berjalan menggeliat menyusuri huruf-huruf sebuah kolom di surat kabar yang kubaca. Kolom tersebut kunikmati secara menggairahkan di hari sepagi ini, karena ia menceritakan hasil kejadian yang kulakukan kemarin malam; pembunuhan terhadap seorang gadis setelah ia diperkosa.

Di barisan kamar losmen dimana aku menginap belum terlihat satupun orang yang keluar menikmati cahaya matahari pagi yang kemerahan. Mungkin hanya aku sendiri manusia yang rindu terhadap matahari pagi ini, sehingga meskipun masih agak mengantuk kupaksa keluar kamar. Kebetulan surat kabar yang kupesankan kepada satpam losmen sudah datang, tergulung di atas meja depan kamarku.

Ya, kini aku sedang memperhatikan seekor belatung. Terus menggeliat berputar, menampakkan sebuah hidup yang terus bergerak namun sampainya ke tempat yang itu-itu juga. Seperti merasa capek dan bosan dengan perjalanannya sendiri yang masih terasa sia-sia, ia pun mengangkat kepalanya. Aku tersenyum kepadanya. "Selamat pagi, Tung!" sapaku.

Surat kabar yang menurutku, manusia, hanya selebar ini, menurut belatung ini mungkin sebuah dunia yang tak kentara ujungnya. Aku bisa mengerti pikiran belatung ini, "Makhluk hidup di dunia ini kan hasil dialektika historis, sehingga besar kecilnya, sedikit lamanya, sempit luasnya sebuah kenyataan atau peristiwa tergantung fakta apa dan sejarah mana yang membentuk makhluk hidup tersebut." Sebuah koran bagi manusia, bagi belatung mungkin sebuah daratan tandus yang amat luas.

Belatung itu bertahan beberapa detik mengangkat kepalanya. Layaknya ia sedang memperhatikan wajahku atau juga mencoba menerjemahkan sapaan yang kuberikan kepadanya. Aku tersenyum kembali. Dalam hatiku aku bermohon semoga belatung itu pun membalas senyumanku yang kedua kali ini. "Coba kalau kau bisa berbicara bahasa manusia." benakku, "Kau akan kuajak berbincang tentang banyak hal yang tak bisa dijawab oleh manusia."

"Pertama aku akan bertanya tentang keberadaanku sendiri. Dari manakah tepatnya kita berasal, Tung? Apakah tak ada cerita samasekali yang dapat memuaskan rasa ingin tahuku, bahwa kita berasal dari sini atau dari sana. Kita toh tidak pernah memesan untuk dilahirkan dalam kenyataan-kenyataan yang telah kita lewati, bukan? Bahkan aku sering menggugat bahwa aku tidak pernah ingin dilahirkan ke dunia ini. Tetapi sialnya kita sudah tak bisa lagi menawar perangkap yang disebut kehidupan ini. Kita harus menjawab teka-teki yang datang kepada kita dengan sepenuhnya kebisuan, karena tak pernah ada suara, gemerisik, atau yel-yel yang bisa menunjukkan kita adanya sebuah jawaban yang memuaskan. Orang-orang lain pun merasakan hal yang sama. Ketika mereka berusaha mendiskusikan hal ini, setelah beribu jam dan berjuta-juta kata dihabiskan, mereka tiba pada akhir yang sama; sebuah akhir yang tidak saling mempercayai, bahkan sampai tak percaya suara atau kata-kata yang dicoba dikeluarkannya sendiri. Jadi selama ini, dari apa yang bisa kusimpulkan dari rangkaian pikiran tersebut adalah hakekat kitalah kebisuan, kesendirian dan kegamangan yang abadi.

"Dan, o-aku belum mengenalkan diriku kepadamu Tung. Aku seorang manusia yang sama seperti manusia-manusia lainnya, ingin menjawab keabsurdan asal-usulnya dengan sesuatu yang bermakna. Nah, kini sampailah kita pada persoalan tentang makna. Kau tahu apa itu makna? Awas, jangan seperti makhluk yang bernama manusia kau! Manusia akan selalu bingung bila kutanya atau ia bertanya kepada dirinya sendiri tentang makna. Kau jangan ya Tung, ya!"

Bagai mendengar pertanyaanku belatung itu mengangguk. Aku girang ia bisa diajak mengerti. Sebagai tanda terima kasihku kepadanya, kuambil sebuah kotak musik kecil lewat jendela kamarku. Lalu menyetelnya.

"Tung, ini sebuah lagu untuk kau dengar bersamaku. Sebuah lagu kesayangan,"

"…ting…ting…ting…ting…" terdengar denting dari kotak musik sebuah lagu Beethoven, Fur Elise.

"Kau harus tahu, Tung. Semalam aku habis memperkosa seorang gadis, lalu membunuhnya. Duh, pengalaman yang mengagumkan! Itulah makna bagi makhluk hidup seperti kita, membunuh. Serangga dengan serangga saling bunuh, hewan-hewan kecil saling bunuh atau dibunuh yang lebih besar, manusia membunuh binatang. Kau dibunuh oleh burung atau ayam, manusia saling bunuh lewat beberapa cara, dan yang paling hebat dan mengasyikkan tentunya apa yang disebut perang. Dari abad ke abad manusia berperang, tak ada puasnya, tak ada akhirnya. Hidup itu untuk membunuh, Tung, sebagaimana membunuh itu untuk hidup.

"Tetapi orang-orang lain sering lupa terhadap hakekat ini. Orang membunuh terus dikejar-kejar untuk dihukum. Mereka lupa bahwa pembunuhan itu bukanlah kriminal, bukan sesuatu yang pantas diberi hukuman. Coba kubacakan kolom yang memberitakan tentangku ini: PEMBUNUH MANIAK BERAKSI LAGI. Terjadi lagi pembunuhan yang mengenaskan. Mayat seorang gadis ditemukan tergelatak di sebuah taman dalam keadaan bugil. Wajahnya dicoreng moreng dengan darahnya sendiri dan alat kelaminnya dirusak sedemikian rupa. Dugaan keras ia dibunuh setelah diperkosa secara brutal. Dan menurut pihak kepolisian, dari beberapa bukti yang didapat di sekitar tempat kejadian, tersangka pembunuhan tersebut kemungkinan merupakan orang yang sama dengan pelaku pembunuhan-pembunuhan keji yang dilakukan dua bulan terakhir ini.

"Coba kau dengar, Tung! Ha,ha,ha…" aku tertawa puas.

"Tung! Tung! Kemana kamu," belatung itu sudah tidak lagi ditempatnya. Aku mencari sebentar. Kutemukan ramat halus menggantung ke bawah. Belatung itu mencoba tidak acuh. Ia berjalan agak cepat menuju sudut tembok yang lembab. Aku kesal terhadapnya. "Sial, kamu Tung! Kamu pandang aku ini siapa, hah! Mencoba pergi begitu saja."

Kuinjak dengan kuat belatung itu. Kemudian kuangkat kakiku. Hanya sebulatan cairan yang kini tampak. Belatung itu telah menambah maknaku.

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.