Balon

Dukun yang kami datangi memang ampuh. Kemampuannya benar-benar luar biasa. Aku dan istriku yang lumayan gemuk-gemuk mengempis perlahan-lahan menjadi dua buah balon karet. Tanpa rasa nyeri tanpa rasa sakit tubuh kami mengecil kira-kira menjadi seperseribu aslinya. Dan kami sungguh-sungguh menjadi balon karet. Tipis, kenyal dan berbau khas. Kini tinggal menunggu langkah berikutnya.

Ya. Kami, aku dan istriku telah bersepakat mencoba sesuatu yang orang lain belum pernah melakukannya. Sekedar hiburan yang tidak menjenuhkan. Atau kalau ingin lebih serius kedengarannya, kami ingin merasakan seluruh kenyataan yang ada dan mengecap rasa sebagai yang lain dari manusia. Karena menurut kami disitulah letak kebahagiaan. Setelah sukses menjadi balon, untuk selanjutnya mungkin kami akan mencoba pula jadi peniti, permen karet, botol, kaleng rombengan, sikat gigi, cangkul, kawat jemuran, bola gundu, tusuk konde, clurit, gigi palsu, pokoknya segala hal. Ini bukan cuma main-main atau mengada-ada. Kami tidak termasuk tipe orang yang mengejar prestasi-prestasi ter seperti orang-orang yang ingin masuk Guiness Book. Ini masalah eksistensial. Masalah hidup yang ingin sepenuhnya merasa hidup. Supaya kami petualang-petualang besar jagat ini tidak menjadi arwah penasaran nantinya.

Kami pontang-panting mencari orang yang dapat memuaskan hasrat tersebut. Untung ketemu dukun ini. Seorang lelaki tua berjanggut putih, bersorot mata entah melihat apa dan berpenampilan sangat sederhana. Ketika kami mengutarakan maksud kami, ia tidak seperti orang-orang lain, memandang kami bagai memandang makhluk aneh dan menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub yang mencemooh. Menurutnya keinginan kami adalah hal biasa, lumrah bagi manusia. Ia hanya tersenyum, yang bagi kami merupakan dorongan semangat yang tiada taranya.

"Jadi kalian ingin jadi balon?"
"Iya, Mbah!"
"Hmm…balon warna apa?"
"Apa saja, Mbah. Asal jangan hijau," gerak bibirku membantu melayangkan ingatanku pada sebuah lagu anak-anak yang saat itu terasa mengerikan, "…meletus balon hijau, darr!" Aku tidak ingin jadi balon hijau. Istriku pun punya pikiran yang sama. Ia mengikuti segala yang aku persyaratkan.

"Kalian orang-orang kaya, yang punya segalanya ingin benar jadi balon?!"
"Iya, Mbah!"
Hmm…apa bukan ingin lebih tinggi pangkat kedudukan?!" sepertinya dukun itu sedang menggoda tekad kami.

"Bukan, Mbah! Seperti Mbah, kami mungkin orang-orang yang lebih dari awam. Orang-orang yang merindukan diam, hening dan ketenangan daripada hiruk pikuk pangkat dan kedudukan."

"Jangan memuji! Saya tidak gemar pujian. Juga tolong jaga, jangan membawa-bawa saya dalam niat dan hasrat kalian. Saya bukan apa-apa bukan siapa-siapa."

Kini kami berada dalam besek butut penjual mainan anak. Bertumpuk dengan balon-balon yang sebenarnya. Ada berpuluh-puluh. Rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Ada juga yang hitam, yang putih, ungu dan merah cabe. Sudah berjam-jam kepanasan. Di atas terikat balon-balon yang telah diisi gas karbit. Bundar mengkilap persis perut perempuan yang hamil tua. Aku dan istriku dua balon yang berjiwa. Tetapi sepi, diam, menunggu untuk diapakan saja. Namanya juga balon, dari apapun asalnya tetap balon.

Beberapa saat berlalu, tetapi aku dan istriku tetap balon yang kosong. Tak diisi apa-apa. Entah kenapa tukang balon ini memilih balon-balon lain untuk ditiup dan diisi gas karbit. Kami dibiarkannya tergolek begitu saja. Pernah ia memegangku tetapi kemudian menaruhku kembali ke besek butut yang serat bambunya geli menusuk-nusuk.

Tampak dua sosok manusia besar dan kecil mendekat. Yang seorang perempuan setengah baya yang lainnya anak kecil. Tangan kiri anak tersebut dituntun oleh tangan perempuan itu. Seorang anak dengan ibunya mungkin. Tangan kanan si kecil menutup matanya yang berair. Ia sedang meredakan tangisnya.

"Bang! Balon, Bang. Satu yang sudah ditiup, satu enggak."
Abang tukang balon mengambil. Memutus benang dari bambu pikulan dan menalikannya pada sepotong kecil pipa plastik. Kemudian menyerahkan ke tangan si kecil. Terus mengacak-acak balon yang belum ditiup dan mengambil yang berwarna biru.

"Nggak mau yang biru! Yang kuning!" anak kecil itu merengek.

Cek! Tangan tukang balon mengambil balon kuning, istriku. Merenggut dia dari sisiku. Aku ingin berontak. Ow, aku tidak suka perpisahan yang kejam. Aku suka perpisahan yang romantis, yang sentimentil. Tetapi tangan tukang balon yang kasar dan bau macam-macam itu merenggut istriku sekejap mata. Tak sempat kami berpandang-pandangan. Tak sempat aku melihat istriku memberikan ekspresinya untuk kunikmati sesaat bahwa walaupun dia akan menjadi milik orang lain tetap menjatuhkan cintanya kepadaku. Tak sempat aku mengucapkan kata-kata bagus mengiringi perpisahan ini.

"Bawalah aku serta! Bawalah aku serta!" gereget jiwaku menguap dalam jasad unikku. Aku balon. Tak kuasa menahan dan menolak. Hanya ada rasa dingin menyentuh. Duh, air! Air mata? Aku sudah akan terharu mendapatinya; istriku menangis terpisahkan dariku. Tetapi ada bau kecut. Sialan! Keringat tukang balon ternyata. Lalu aku sadar, yang kucari dalam membalon ini adalah kebahagiaan. Aku berjanji tidak akan lagi memunculkan hal-hal yang manusiawi, semacam cinta, benci, sedih atau gembira. Kebahagiaan adalah tidak merasa, seperti balon yang sesungguhnya. Biarkan istriku dengan cerita hidupnya dan aku dengan perjalanan hidupku. Aku coba membunuh kemanusiaan.

Aku terlempar di gundukan sampah. Bertindih dan kumpul dengan nasi bau dan makanan-makanan basi, karet gelang, tali rafia, kotak-kotak, bekas kaleng susu, tutup botol, ranting pohon, sandal jepit sebelah, kertas-kertas bungkus, sobekan koran, cangkang telur dan panci bolong. Mengapa sampai di situ? Beberapa jam setelah istriku dijual pada si bocah cengeng, ketika Oom tukang balon masuk kebun untuk buang air kecil, aku dicuri oleh remaja iseng. Rencananya, yang kudengar dari pembicaraan pencuri amatiran ini dengan kawannya, aku akan dibelitkan di bagian belakang dekat ban sepedanya.

"Dengarkan nanti! Sepedaku akan berbunyi blup-blup-blup-blup-blup…, persis baling-baling helikopter. Motor harley? Kalah! Bajay? Putus!" Lalu tertawa.

Lalu? Dasar memang barang curian, jadinya tidak awet dan berkah. Bersyukur aku menanggapi nasib baik yang kebetulan ini. Sudah kubayangkan niat kekanak-kanakan remaja iseng itu. Aku akan digencet bergantian oleh jeruji ban. Blup-blup-blup, aduh-aduh!

Beruntung, ketika ia berlari-lari untuk mengambil sepeda tanpa disadarinya aku terjatuh. Persis di muka pagar satu rumah mewah. Cerita selanjutnya, aku dipungut bocah ingusan yang ternyata anak yang punya rumah mewah tersebut. Tetapi ketika ibunya melihat anak semata wayangnya meniup-niup balon, tambah lagi balon pungutan, terusiklah rasa sayang yang membungkus gengsinya.

"Aduh, yayang! Mainanmu bukan balon, sayang! Mainanmu bukan macam begitu. Buang ya sayang, ya! Mama takut kamu jadi asma nanti. Bibiii! Buang balon sampah ini!"

Aku sampah? Yang mencari-cari kebahagiaan adalah sampah? Keingintahuan adalah barang kotor? Duh, aku jadi teringat pepatah Inggris, curiosity kills the cat. Sekarang? Curiosity's killing me!

Aku terlempar di gundukan sampah. Menunggu-nunggu kebahagiaan. Mustahilkah mendapat satu kesucian di lingkungan najis seperti ini? Bergetar aku menanti keajaiban. Tiba-tiba sebuah tangan hitam berbau amis menjiwir mulutku. Mengangkat seluruh tubuhku dan menimang-nimangnya. Kurasakan nadinya mendenyutkan sukacita. Ia memperhatikanku bagai seseorang yang mendapatkan kembali barangnya yang hilang. Kemudian menggosok-gosokkan aku ke baju kaosnya yang kumal. Mungkin membersihkan, maksudnya. Aduh, amit-amit jabang bayi! Dia pasti gelandangan. Lihat rambutnya yang kusut, wajah berlepotan debu dan kotoran, gigi hitamnya yang menyeringai, badannya yang anti air dan pakaiannya yang robek-robek dan kumal. Wuih! Benar-benar gelandangan.

"Syukur, syukur. Aku telah menemukannya!" girangnya. Ia pun berjalan tergesa. Menuju satu arah yang tampaknya begitu sangat mengharapkannya. "Sembuhlah gadis kecilku! Gembiralah hari ini! Sembuhlah!"

Ia membuka triplek penutup rumah kardus. Disongsong dua pasang mata perempuan. Yang satu kecil berbaring lemah, yang satu lagi seorang dewasa duduk bersila di samping kirinya.

"Karsih! Tebaklah yang Bapak bawa!" Lelaki gelandangan itu tak tahan berteriak. "Balon hitam yang kamu minta, Karsih! Lihatlah!"

Si kecil yang sakit, Karsih yang berumur dua-tiga tahun, mengangkat tubuh. Duduk dan tersenyum dengan gairah yang tampak benar-benar keluar dari hatinya. "Mana, Pak?"

"Ini!" Lelaki gelandangan itu kembali menggosok-gosokkan aku ke bajunya. "Bapak tiup, ya?" Gadis cilik itu mengangguk. Menanti dengan seluruh kekuatan yang dicoba dikumpulkannya. Aku terharu melihat ketulusannya. Jiwaku digelitik perasaan dicintai. Tak apalah mereka orang-orang gelandangan, yang penting bisa tumbuh perasaan yang kuidam-idamkan dengan laku petualangan ini. Aku sendiri heran bisa menerima perasaan yang berganti-ganti dengan sabar dan tenang. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Tak menikmati maka tak mencapai apa-apa. Biarlah aku pacu pertumbuhan perasaan bahagia yang mulai muncul ini dengan berusaha mengenal seluruh gejolak yang ada dan menikmati harapan gelandangan kecil yang sakit yang merindukan sebuah balon hitam.

Bersamaan dengan mengembangnya tubuhku, berkembang pula berbagai rasa dalam diriku. Aku kesembuhan bagi satu jiwa. Keriangan bagi manusia kanak-kanak yang polos dan lugu.

"Lihat, Karsih! Besarnya!"

"Tambah lagi, Pak! Itu kurang besar."

Lelaki gelandangan itu mulai meniupku kembali. Aku menjadi besar, besar, dan semakin besar. Si kecil Karsih belum puas juga. Terbersit dalam hatiku ia tengah menunggu klimaks sebuah rahasia, dimana hidup dipertaruhkan menjadi persalinan ulang atau kematian. Kini keutuhanku menjadi Izrail baginya. Kembali bergolak berbagai rasa. Sedih, gembira, benci, cinta, hidup dan mati seorang manusia ada di genggamanku.

***
Darr!

"Tetapi ketika kau baru akan merasa bahagia, tiba-tiba kau meledak. Dan anak itu mati mendadak." Dukun itu menutup nasehatnya. Lalu ia memantra-mantrai dua butir telur ayam kampung. Diberikannya telur itu kepadaku dan istriku. "Intiplah telur ini dengan keseluruhan indramu!"

Aku dan istriku segera menuruti perintahnya. Kutempelkan telur itu di ujung tangan kanan yang dibentuk teropong-teropongan. Kulihat diriku mendzikirkan huruf-huruf, mengejanya dengan khusyu' dan perlahan. "Orang bodoh mencari kebahagiaan di tempat yang jauh. Orang bijaksana menumbuhkan kebahagiaan di bawah kakinya sendiri.”

~Peri Umar Farouk, YK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.