Allastu Bi Rabbikum

Ketika wangi tubuh Masyitoh yang terpanggang. Ketika memancar air di tandus gurun atas doa jari Hajar. Ketika kapal Nuh berlayar di air bah. Ketika tangis Ismail yang masih merah, kehausan. Ketika jerit cinta Rumi menari-nari di dahaga rindu Rabi'ah al-Adawiyah. Ketika burung-burung Attar melesat ke Singgasana. Menjelmalah dari firman, seekor burung Bulbul: "Kesturi, o-wangi kesturi"

Bismillah! Berjatuhan berjuta-juta sisir ke bumi: "Rapikan rambutmu, hei manusia! Bercerminlah!"

Burung Bulbul terbang ke mega. Mengkelamkan langit. Dan bergetarlah suara: "Lahirlah Musa!" Fir'aun raja diraja negeri merah muka oleh amarah. Kebencian tertumpah dalam kata-kata: "Bunuhlah semua bayi!"

Dan kebudayaanpun ia hentikan. Peradaban membatu dalam arca-arca. Sang Budha pun membatu. Yesus menderita di tiang salib. Dua belas Imam diracun dan dibunuhi, merintih dalam do'a Kumail. "Lihatlah! Di langit beterbangan ayat-ayat, Zend Avesta, Bagawad Ghita, Zabur, Toret, Injil, Qur'an…di bumi, yang tinggal cuma teka-teki. Hanya teka-teki…"

Dari ketakterhinggaan Adam melesat jatuh terjun jumpalitan. Terasa panas sekali dibiarkan melewati kekosongan demi kekosongan. Hanya gumpalan awan sesekali ia tebas secepat kilat. Tapi itu semua tidak berarti apa apa bila dibandingkan dengan keperihan yang makin lama makin dirasakannya, ribuan dimensi satu persatu terkelupas. Lepas.

Kini sampai di pembuangan. Adam menghitung sisa sisanya; tinggal tiga dimensi. Namun ia belum berani menggerakkan ototnya. Bernafas pun dilakukannya setelah perasaan sesak memaksa mengembangkempiskan dada. Tak ada wangi di sini?

"Apa?!" Adam teriak.

"Alif Laam Miim…"

"Apa?!" Tak ada jawaban bagi terhukum. Ia hanya mendengar gema dari teriakannya sendiri. Suara pertama yang parau, yang seolah olah keluar dari luka yang amat dalam. Udara membawa suara itu entah ke mana, mungkin ke tempat yang jauh, mungkin pula membungkamnya di tengah jalan. "Mengapa kukumpulkan pertanyaan pertanyaan? Tidakkah hal itu hanya akan menambah nambah perasaan terhukum saja?"

Lalu Adam menunduk. Lalu bersujud. Mendzikirkan nama-nama.

Sedang Fir'aun tak lelah bertolak pinggang di atas tanah merah. Sekali-sekali tertawa terbahak-bahak.
Entah dari mana, tiba-tiba muncul suara: "Bukankah Aku ini Tuhanmu!"

"Ha-ha-ha, akulah Tuhan, hei manusia!" Fir'aun memperkukuh sikap berdirinya. Menengadahkan muka ke langit luas.

Burung Bulbul mengepakkan sayapnya. Disambung oleh kilatan petir di ujung kanan-kirinya. Blitz-blitz- "Kau patut dikasihani, 'Aun. Mana mungkin kau adalah Tuhan."

Adam berhenti sujud. Berdiri dan dua bola matanya memancarkan penglihatan seorang yang bingung. Tetapi ia mulai berjalan. Sendirian. Mungkin akan terlunta-lunta. "Jika engkau ingin kembali kepada Sumber Kehidupan, engkau senantiasa harus melakukan langkah yang pertama, betapapun engkau merengek-rengek agar diizinkan melakukan langkah yang keseratus "

Burung Bulbul membayang-bayangi langit di atas kepala Fir'aun, "Kau saksikan, kehidupan manusia akan ditandai oleh fuktuasi antara Nur dan Dzulumat. Ketika Adam tercipta, ia menghuni surga. Namun ada momentum di mana manusia bisa terjerumus atau melangit. Mendzulumat atau men-Cahaya. Begitupun Adam, di titik ketika ia tergoda Iblis, mendekati khuldi, di situlah titik antar diri dan kesadaran terlepas saling menjauh. Ia terusir. Tapi lihatlah olehmu. Bagaimanapun sakitnya kepahitan, bagi orang-orang yang berfikir dan bertobat, bukan hanya kenyerian. Ia memunculkan momentum untuk melangit, mentransenden kembali, inna ma'al ushri yushr'. Meloncat dari titik: Rabbana ya rabbana dlolamna anfusana wa illam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin."

"Namun mengapa mesti mencari-cari, mesti terlunta-lunta," Fir'aun berteriak kembali.

"Tak seorangpun dapat mencapai Kebenaran, sebelum ia sanggup berpikir bahwa Jalan Kebenaran itu sendiri mungkin salah." Burung Bulbul melayang-layang. "Jangan angkuh, 'Aun. Jangan sombong!"

Kesombongan melahirkan Nero, melahirkan khawarij, melahirkan pasukan reconquatadores. Keangkuhan melahirkan Musailamah, Jahal dan Lahab, melahirkan dinasti Umyyah, Abbasiah, melahirkan Ku Klux Klan.

Berabad-abad kemudian bumi menjadi chaos. Orang-orang berjumpalitan. Digonjang-ganjing hiperrealitas. Makna berhamburan, menjadi keping-keping ideologi dan utopia.

"Kangmas Jurgen, ajarkan aku sebuah paradigma!"

"Uda Focoult, gali bagiku kedalaman arkeologi pengetahuan!"

"Oom Derrida, beri aku keberanian dekonstruktif!"

Alif-ba-ta…. Selalu kembali ke alif. Manusia, manusia…

Nietschze menyeret-nyeret keranda. Ia lelah, lunglai di tengah hiruk pikuk pasar bebas, "Tuhan telah mati, saudaraku… Tuhan telah mati. Telah kuusung kuburnya sejak lahir Cogito ergo sum."

Dan aku senantiasa diam: Hidup nikmat sekali, bukan!

~Peri Umar Farouk, JK

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.